Kasus kewarganegaraan yang dialami Nur Amira (37) kembali menjadi perhatian publik setelah ia ditahan di ruang detensi Kantor Imigrasi Kelas I Non TPI Agam, Sumatera Barat. Situasi ini muncul akibat persoalan dokumen kewarganegaraan yang membuatnya berkali-kali mengalami deportasi dari Indonesia maupun Malaysia. Kondisi tersebut menunjukkan betapa rumitnya persoalan identitas hukum ketika seseorang terjebak antara dua negara—dan betapa rentannya mereka yang berada dalam situasi serupa. Namun kabar baiknya, salah seorang anggota DPR menyatakan akan utamakan sisi kemanusiaan untuk kasus ini.
Dalam kunjungan kerjanya ke Padang, Anggota Komisi XIII DPR RI asal Sumatera Barat, M. Shadiq Pasadigoe, menekankan perlunya pendekatan yang lebih manusiawi dalam menangani kasus ini. Ia menyampaikan bahwa penyelesaian persoalan kewarganegaraan Nur Amira harus tetap mengikuti aturan, namun tanpa mengabaikan aspek kemanusiaan.
Shadiq telah menemui langsung Nur Amira di ruang detensi dan menyampaikan bahwa proses administrasi sedang berjalan. Ia juga menjelaskan bahwa langkah berikutnya akan melibatkan koordinasi di Medan serta pihak kedutaan. Harapannya, setelah seluruh proses ini selesai, Nur Amira dapat kembali berkumpul dengan keluarganya. Pendekatan DPR utamakan sisi kemanusiaan ini tentu patut diapresiasi.
Pemberitaan ANTARA mencatat bahwa Shadiq juga bertemu dengan Kepala Kantor Wilayah Imigrasi Sumbar untuk mencari jalan keluar terbaik. Pihak imigrasi, melalui Kepala Kanwil Ditjen Imigrasi Sumbar, Nurudin, menegaskan bahwa seluruh penanganan dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan. Imigrasi juga menyatakan terbuka terhadap masukan dan siap bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk legislatif, demi penyelesaian yang baik.
Tantantan Administrasi Kewarganegaraan
Kasus seperti yang dialami Nur Amira menggambarkan tantangan yang lebih luas dalam tata kelola kewarganegaraan di kawasan ini. Ketika seseorang menghadapi ketidakjelasan status hukum, dampaknya bukan hanya administratif, tetapi juga psikologis, sosial, dan ekonomi. Situasi ini mengingatkan kita bahwa kebijakan kewarganegaraan tidak pernah berdiri sendiri—ia selalu menyangkut manusia dan keluarganya.
Bagi Institut Kewarganegaraan Indonesia, isu seperti ini menjadi penting untuk terus dipahami dan dikawal. Pendekatan yang sensitif, koordinasi antarlembaga, dan kepatuhan pada hukum perlu berjalan seimbang agar tidak ada warga—baik de facto maupun de jure—yang terjebak dalam kerentanan serupa. Langkah DPR mengedepankan sisi kemanusiaan perlu didukung mengingat putri Amira menjadi satu-satunya WNI di keluarga tersebut. Mereka terpisah akibat hukum kewarganegaraan, neneknya dideportasi ke Singapura, Ibunya ke Malaysia. Putrinya yang masih di anak-anak sebatang kara di Indonesia.@esa
Sumber: Antaranews.com




