Di Indonesia, cinta lintas iman kerap terhenti di pintu legalitas. Meski negara menjunjung tinggi pluralisme agama, hak asasi manusia, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, kawin beda agama masih terjerat tafsir sempit Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menegaskan, perkawinan hanya sah bila sesuai hukum agama masing-masing pihak. Artinya, jika agama melarang, negara pun menutup pintu.
Kawin Beda dan Akal-Akalan Hukum
Data Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) mencatat hingga 2022, ada 1.425 pasangan beda agama yang telah sah perkawinannya di Indonesia. Prosesnya legal dan didampingi pegiat ICRP. Namun diluar itu, tidak sedikit yang terpaksa berpura-pura pindah agama, menikah dua kali, atau bahkan melakukan perkawinan di luar negeri yang tidak mempersoalkan perbedaan agama mempelai.
Humbertus (2019) mencatat, kebutuhan manusia akan kasih sayang dan membangun keluarga adalah hak dasar yang tak bisa dibendung larangan formal. Namun Mahkamah Agung, lewat Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2023, justru menutup jalur pengadilan bagi pencatatan perkawinan beda agama, yang sebelumnya dimungkinkan. Sementara Antari dan Adnyana (2024) menegaskan, bahwa kawin beda agama memiliki resiko. Karena dapat menjadikan warga rentan stigma sosial, sengketa status anak, hingga waris.
Yang menarik, Indonesia seolah lupa belajar pada praktik global. Tunisia sejak 2017 mencabut larangan bagi perempuan Muslim menikah dengan pria non-Muslim. Turki sejak awal republik mewajibkan perkawinan sipil, justru upacara agama adalah opsional. Libanon membolehkan nikah beda agama melalui jalur sipil di luar negeri. Intinya: perkawinan lintas iman bisa diatur negara, agama tetap dihormati di ruang spiritual.
Buku Nikah KUA dan Sistem Global
Buku Nikah KUA hanya berlaku di dalam negeri. Ketika pasangan Muslim ingin mengurus visa ke Eropa, Amerika, Australia, mereka harus repot melegalisasi buku nikah ke Kemenlu, menerjemahkan, lalu meminta Extract Akta Perkawinan di Dukcapil. Kenapa? Karena di luar negeri, hanya Marriage Certificate yang diterbitkan civil registry yang diakui secara universal. Sistem KUA, meski rapih dan tertib, hanya administratif di dalam negeri.
Negara tetangga pun begitu. Malaysia punya Sijil Nikah dari JAIS (kantor agama), tapi untuk keperluan lintas negara tetap butuh endorsement Jabatan Pendaftaran Negara (JPN). Brunei pun serupa: Mahkamah Syariah menerbitkan Marriage Certificate, tapi legalisasi Kementerian Luar Negeri tetap menjadi syarat wajib untuk diakui internasional. Mayoritas negara Muslim lain — Mesir, Yordania, UEA, Pakistan — selalu menghubungkan akta nikah dengan civil registry agar sah di mana-mana.
Posisi KUA dalam konteks pengesahan perkawinan, sebenarnya sejajar dengan tempat ibadah pada agama non Islam. Karena, pengesahan perkawinan secara agama dilaksanakan pemuka agama di tempat ibadah. Produknya adalah surat pemberkatan perkawinan. Selanjutnya, barulah dilakukan Pencatatan Sipil oleh dukcapil dapat mencatatkan perkawinan tersebut. Jadi jika mengadopsi praktik di beberapa negara di atas, jelas KUA ataupun tempat ibadah harus terhubung dengan dukcapil. Produk pengesahan dari agama baik dari KUA (Muslim) maupun tempat ibadah (Hindu, Buddha, Katolik, Kristen, Konghucu, dan Kepercayaan), bukanlah produk akhir. Produk pengesahan agama ini menjadi dasar bagi negara untuk mencatatkan status perkawinan warganya. Jadi Akta Perkawinan yang diterbitkan Dukcapil, menjadi dokumen bukti perkawinan yang berlaku universal di berbagai belahan dunia.
Kembali Soal Perkawinan Beda Agama
Pembahasan tentang buku nikah di atas sebenarnya adalah pengantar terhadap tawaran solusi beda agama. Dalam konteks revisi UU Perkawinan, sudah saatnya Indonesia menawarkan jalan tengah yang realis dan adil, baik bagi pasangan seagama maupun beda agama. Tawaran solusinya: pengesahan perkawinan Muslim tetap melalui KUA, tetapi KUA wajib terhubung langsung dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil). Bagaimana teknisnya?
Pertama, pengesahan di KUA menggunakan NIK (Nomor Induk Kependudukan), sehingga data pernikahan otomatis masuk basis data kependudukan nasional.
Kedua, KUA wajib meneruskan hasil pengesahan nikah ke Dukcapil, sehingga pasangan Muslim memperoleh Akta Perkawinan yang diakui universal — tanpa harus legalisasi berlapis buku nikah ketika mau mengurus visa, waris lintas negara, atau status anak di luar negeri.
Ketiga, Dukcapil secara otomatis memperbaharui KTP, KK, dan status administrasi kependudukan pasangan. Tidak ada lagi dualitas ‘Buku Nikah KUA’ versus ‘Akta Perkawinan Dukcapil’.
Baca juga soal gagasan interoperability antar berbagai sistem pemerintah: Lokakarya Perumusan Rekomendasi AKPSH
Bagaimana dengan perkawinan beda agama?
Di sinilah kompromi dibangun. Dalam revisi UU Perkawinan, perlu pasal khusus:
Pasangan beda agama diberikan kebebasan melakukan pengesahan perkawinan antara di agama pengantin perempuan atau agama penganti laki-laki.
Sebelum pengesahan perkawinan di KUA atau tempat ibadah, disediakan surat pernyataan menundukkan diri secara terbatas hanya untuk keperluan pengesahan perkawinan, yang disetujui oleh orangtua atau wali. Hal ini lazim dilakukan ketika masa Hindia Belanda, dimana penduduk dapat menundukkan diri pada sistem hukum golongan lain dalam hal tertentu. Misal untuk keperluan kontrak atau perdagangan, golongan bumiputera ataupun timur asing bisa menundukkan diri pada hukum golongan Eropa khusus untuk hukum dagangnya. Hal itu cukup dilakukan dengan pernyataan yang disahkan saja.
Pada kasus perkawinan beda agama, hal ini adalah jalan agar pasangan beda agama tidak perlu akal-akalan. Tidak perlu lagi ada yang berpura-pura pindah agama, hanya untuk mendapatkan pengesahan perkawinan. Bukankah semua agama menjunjung tinggi kejujuran daripada kepalsuan? Jalan keluar sebagaimana tersebut di atas, memastikan semua pasangan yang melakukan perkawinan benar-benar jujur tentang agama masing-masing. Demikian juga soal waris, pasangan beda agama dibebaskan untuk menentukan akan menundukkan diri pada hukum waris yang mana. Khususnya jika salah satu beragama Islam, maka pilihannya antara hukum waris nasional atau hukum waris Islam. Karena agama lainnya seluruhnya mengikuti hukum waris nasional, kecuali beberapa agama lokal tetap menerapkan hukum waris adatnya.
Penutup
Negara harus hadir bukan sekadar melarang, tapi merumuskan solusi. Kawin beda agama akan selalu terjadi di dalam masyarakat plural. Tugas negara bukanlah membatasi ruang, tapi mencari solusi. Merawat keberagaman dan keadilan bagi seluruh warga — dengan jalur sipil yang rapi, status agama yang tetap terhormat, dan akta perkawinan yang sah secara universal.
Dengan demikian, Indonesia tetap memberi tempat bagi agama di ruang publik, tetapi juga adil, modern, dan setara di hadapan hukum dunia.