Kementerian Hukum dan HAM RI telah menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 35 Tahun 2015. Regulasi ini mengatur tentang Tata Cara Penegasan Status Kewarganegaraan RI bagi WNI Keturunan Asing yang Tidak Memiliki Dokumen Kewarganegaraan. Setelah membaca dan mendalami Permen ini, terdapat beberapa hal yang patut direnungkan dan disikapi bersama dan menjadi catatan seputar penegasan.
Empat Catatan Seputar Penegasan
Pertama, penggunaan Istilah “WNI Keturunan Asing” yang bias dan dapat menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat. Sebagaimana terjadi pasca terbitnya Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor JB.3/4/12 tertanggal 14 Maret 1978 tentang Surat Bukti Kewarganegaraan RI. Permen pada Pasal 1 mengatur bahwa “Setiap Warga Negara RI yang perlu membuktikan kewarganegaraannya dapat mengajukan permohonan kepada Menteri Kehakiman. untuk memperoleh SBKRI.” Pasal ini menurut catatan iki, kemudian menjadi semacam pemicu bagi aparat di berbagai instansi, untuk meminta bukti warganegara. Ironisnya, hanya diberlakukan bagi masyarakat Tionghoa. Sehingga akhirnya hanya merekalah yang dianggap “Warga Negara RI yang perlu membuktikan…”
Istilah Keturunan Asing yang Problematik
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 26, maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Pasal 7, hanya mengenal WNI dan orang Asing. Oleh karena itu, penggunaan istilah WNI Keturunan Asing seolah menciptakan kategori baru diantara kedua kategori yang disebutkan dalam konstitusi maupun UU Kewarganegaraan. Apakah memang masih terdapat nomenklatur “WNI Keturunan Asing”? Lebih jauh, UU Kewarganegaraan memiliki asas perlindungan maksimal terhadap seluruh WNI. Perlindungan tersebut diberikan negara tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongannya. Diantara bentuk perlindungan negara adalah pemberian dokumen kependudukan dan pencatatan sipil menjadi kewajiban negara. Hal ini tercermin dalam UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan UU Adminduk. UU ini menganut stelsel aktif, dimana negaralah yang dituntut pro aktif mewujudkan tertib administrasi kependudukan. Meski merupakan rezim undang-undang yang berbeda, tapi kewarganegaraan dan kependudukan sangat terkait erat. Ini juga menjadi catatan tersendiri seputar penegasan kewarganegaraan.
Kedua, istilah “Dokumen Kewarganegaraan dari negara manapun”. Istilah ini juga menimbulkan pertanyaan, apakah seluruh WNI saat ini telah memiliki dokumen kewarganegaraan RI? Apa bentuknya? Mengutip Dr. B.P Paulus, S.H (1983) dalam Kewarganegaraan RI Ditinjau dari UUD 1945, Tinjauan Filosofis, Historis dan Yuridis Konstitusional. Pada saat suatu negara terbentuk, sekelompok orang yang merupakan pendukung berdirinya negara tersebut biasanya dinyatakan sebagai warganegara sejak saat negara itu didirikan yang biasa disebut citizens by operation of law. Sejak Indonesia merdeka hingga diumumkannya UU Nomor 3 Tahun 1946 menurut catatan IKI. Orang-orang Indonesia asli adalah warganegara by operation of law. Dan kemudian orang-orang bangsa lain yang disahkan melalui UU Nomor 3 Tahun 1946 jo UU Nomor 6 Tahun 1947 juga warga negara by operation of law. Pada umumnya warganegara by operation of law tidak memerlukan surat bukti. Hal ini berbeda dengan warga negara by registration, yakni WNA yang mengajukan diri untuk proses naturalisasi atau pewarganegaraan.
Soal UU Kewarganegaraan Pertama
Ketiga, Warga Negara Indonesia (WNI) diatur pertama kali dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk Negara. Pasal 1 UU tersebut mengatur tentang siapa yang dapat dikategorikan sebagai WNI. Diantaranya pada huruf a. orang yang asli dalam daerah Negara Indonesia. Dan huruf b. orang yang tidak masuk dalam golongan tersebut diatas akan tetapi turunan dari seorang dari golongan itu, yang lahir dan bertempat kedudukan dan kediaman di dalam daerah Negara Indonesia.
Selain itu juga orang yang bukan turunan seorang dari golongan termaksud, yang lahir dan bertempat kedudukan dan kediaman selama sedikitnya 5 tahun berturut-turut di Indonesia. Mereka yang telah berumur 21 tahun, atau telah kawin, kecuali jika ia menyatakan keberatan menjadi Warga Negara Indonesia karena ia adalah warga negara Negeri lain. UU Kewarganegaraan pertama ini tampaknya mengikuti pemikiran Profesor Kollewijn dan Profesor Logeman. Keduanya berpendapat bahwa berdasar alasan-alasan historis, untuk mengetahui seseorang dahulu uitheemse Nederlandse onderdanen niet Nederlanders. Adalah dengan mengetahui apakah ia lahir di Indonesia dari orang tua yang berdiam (Gevestigd).
Penafsiran tentang Bertempat Kedudukan
Kementerian Kehakiman menafsirkan istilah gevestigd sebagai feitelijk gevestigd zijn, bukan juridish gevestigd zijn. Dengan tafsiran Kementerian Kehakiman itu, maka untuk mengetahui apakah seseorang dahulu uitheemse Nederlands onderdaan niet Nederlander cukup ditanya apakah ia lahir disini. Tidak perlu ditanya, apakah orang tuanya berdiam disini pada waktu melahirkan orang itu, karena orang yang hanya berkunjung ke Indonesia dan melahirkan anak praktis tidak ada. (Surat Menteri Kehakiman kepada Dewan Menteri tentang Kewarganegaraan Nomor J.B. 3/70/23 tertanggal 28 Agustus 1954). Surat ini juga menegaskan bahwa hanya orang Belanda yang memilih kebangsaan Indonesia yang harus menunjukkan surat bukti memilih kebangsaan Indonesia dan baru sah apabila telah masuk dalam Berita Negara.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1947 tentang Warga Negara dan Penduduk Negara, Pasal 2 menekankan bahwa Undang-Undang Warga Negara dan Penduduk Negara mulai berlaku sejak 17 Agustus 1945, sehingga jelas bahwa orang-orang turunan dari orang yang asli di dalam daerah Indonesia, maupun bukan turunan darinya, sepanjang lahir dan bertempat kedudukan dan kediaman di Indonesia 5 tahun sebelum Proklamasi adalah WNI.
Keempat, kewarganegaraan juga menjadi salah satu materi di dalam perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949, maupun Perjanjian Dwikewarganegaraan RI-RRT 1955. Perjanjian KMB dibatalkan secara sepihak 1956 sedangkan Perjanjian Dwikewarganegaraan dicabut 1969 dengan implikasi, lahirnya generasi anak-anak yang tidak dapat memilih kewarganegaraannya pada saat dewasa sebagaimana seharusnya jika kedua pernjanjian masih berlaku. Pasca KMB memang pernah terbit Instruksi Menteri Pertahanan selaku Penguasa Militer Nomor III/7/PMT/1957; B.N. 1957 No. 87 tentang Pelaksanaan Peraturan Penguasa Militer/K.S.A.D Nomor Prt/PM/09/1957 tertanggal 4 Juni 1957, yang pada Pasal 3 menyatakan bahwa “Instansi resmi yang meragu-ragukan kewarganegaraan seseorang yang sedang berurusan dengan instansi resmi tersebut untuk suatu kepentingan, meminta pembuktian kewarganegaraan itu dengan cara memberi “surat penunjukkan” sebagai contoh terlampir, kepada yang berkepentingan untuk dibawa kepada Hakim Pengadilan Negeri setempat.”
Pasca UU Kewarganegaraan 1946
Undang-Undang Kewarganegaraan baru kemudian disusun pada masa Republik Indonesia Serikat dengan UUDS 1950, yakni Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 yang baru dicabut pada tahun 2006 melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI, padahal RI telah kembali ke UUD 1945 dalam bentuk NKRI melalui Dekrit Presiden 5 juli 1959. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 dalam konsideran menimbang diantaranya menyatakan bahwa “Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1976…” sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan ketatanegaraan Republik Indonesia sehingga harus dicabut dan diganti dengan yang baru.”
Uniknya dalam memori penjelasan UU No. 62 Tahun 1958 ditegaskan bahwa: “Supaya tidak ada vacuum dalam kewarganegaraan beberapa pasal dari undang-undang ini hendaknya dilakukan surut hingga 27 Desember 1949.” Penjelasan ini tentu mengingkari terutama Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Selain itu juga hasil-hasil rapat BPUPKI. Artinya termasuk Pancasila yang dirumuskan Bung Karno dalam Sidang BPUPKI 1 Juni 1945.
Rekomendasi berupa Permen
Keragu-raguan petugas di instansi terkait terhadap kewarganegaraan seseorang memang terjadi. Hal demikian, lebih banyak terjadi akibat ketidakpahaman petugas di tingkat bawah, terhadap dinamika hukum. Baik yang terkait warga negara maupun penduduk negara di masa lalu. Oleh karena itu, melalui catatan seputar penegasan ini, direkomendasikan bentuk Permen yang tidak memproses orang per orang. Akan tetapi Permen yang dapat menghilangkan kebiasaan meragukan kewarganegaraan kelompok masyarakat tertentu berbasis ras dan etnis. Kemudian wujudkan kesetaraan pelayanan WNI melalui administrasi kependudukan. Bukankah diantara dokumen bukti kewarganegaraan adalah Akta Kelahiran, KTP dan KK. Dengan demikian, setiap WNI dilindungi dan dilayani secara setara di depan hukum dan pemerintahan sebagaimana amanat UUD. Hal ini juga sejalan dengan Nawacita untuk menghadirkan kembali negara yang memberikan rasa aman pada seluruh warga negara. Dengan demikian persoalan kewarganegaraan menjadi tuntas bagi seluruh anak bangsa. Dengan demikian ke depan, diharapkan beban masa lalu ini sudah tidak lagi dipikul oleh generasi mendatang.@esa