loader image
021- 2510670
sekretariat@yayasan-iki.or.id

Masih Adakah Pribumi dan Nonpribumi?

916 views
Wanit Tionghoa di Vihara Caga Sasana Cikupa Tangerang Banten
Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on email
Email

 

JAKARTA, IKI

Oleh : Luhut B. Pandjaitan

 

Saya teringat suatu kali dalam rapat kabinet di era pemerintahan Gus Dur, sewaktu saya menjabat sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag), terjadi proses pengambilan keputusan untuk mengakui Hari Raya Imlek menjadi hari libur nasional.

Banyak juga menteri di kabinet yang tidak setuju dengan keputusan Gus Dur. Saya juga bertanya, apa alasannya Gus Dur berani mengambil keputusan seperti itu.

Gus Dur waktu itu mengatakan bahwa inilah waktunya kita harus menghormati hak tiap orang di Indonesia dalam beragama. Keberanian beliau ini harus dicatat menjadi suatu keberanian yang menurut saya sangat pas.

Gus Dur orang yang visioner melihat ke depan.
Sekarang apabila kita bicarakan tentang Hari Raya Imlek, itu sudah biasa, tapi waktu itu merupakan hal yang “aneh” karena di masa Orde Baru, pemerintah melakukan penutupan, pelarangan dan penyitaan fasilitas semua sekolah dan lembaga pendidikan berbasis Tionghoa.

Seluruh organisasi sosial Tionghoa dibubarkan. Penguasa melarang terbit dan beredar semua koran, majalah, dan buku berbahasa Mandarin.

Turut juga dilarang berbagai bentuk tulisan beraksara Tionghoa di ruang publik. Melarang kegiatan ritual Konghucu atau perayaan budaya Cina di ruang publik. Berbicara bahasa Tionghoa di tempat umum pun merupakan bentuk pelanggaran hukum, berlanjut kata Tionghoa atau Tiongkok di’haram’kan dan harus diganti Cina, dan keturunan Tionghoa harus berganti nama Indonesia.

Padahal jika kita mau menilik kepada sejarah, banyak sekali peran teman-teman keturunan Tionghoa ini dalam perjuangan bangsa Indonesia.

Bahkan beberapa menjadi pahlawan nasional dan dimakamkan di taman Makam Pahlawan. Seperti Laksamada Muda TNI John Lie, atau Jahja Daniel Dharma (1911 – 1988) yang adalah salah seorang perwira tinggi di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dari etnis Tionghoa tapi juga diakui sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Atau Lie Eng Hok, (1893 – 1961) yang merupakan seorang Perintis Kemerdekaan Indonesia. Eng Hok merupakan salah seorang pejuang dalam melawan kolonialisme Belanda.

Ia teguh pada pendiriannya untuk membela Indonesia.

Pada tahun 1928, koran tempat Lie bekerja sebagai wartawan adalah koran pertama yang memuat teks lagu Indonesia Raya.

Lie Eng Hok yang berperan sebagai kurir kaum pergerakan ditahan Pemerintah Kolonial Belanda dan dibuang ke Boven Digoel, Papua, selama lima tahun (1927-1932).

Atas jasa-jasanya pada bangsa dan negara Indonesia, Lie Eng Hok diangkat sebagai Perintis Kemerdekaan RI berdasarkan SK Menteri Sosial RI No. Pol. 111 PK tertanggal 22 Januari 1959.

Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh keturunan Tionghoa yang mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional, baik dalam bidang olah raga, kemanusiaan, sosial ekonomi, sastra dan Bahasa Indonesia, maupun pendidikan seperti Prof. Yohanes Surya yang telah menghasilkan puluhan siswa-siswi Indonesia bisa berprestasi menjuarai berbagai olimpiade fisika internasional.

Kini kita sudah tidak bisa lagi  mengelompokkan pribumi dan nonpribumi pada teman-teman Tionghoa.

Karena mereka adalah 4-5 generasi di berada Indonesia. Kita tidak bisa lagi menganggap mereka sebagai orang asing. Mereka merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Mereka perlu dihargai setara.

Saat ini jumlah keturunan Tionghoa di Indonesia adalah sebanyak 12 jutaan jiwa.

Tidaklah benar apabila warga keturunan Tionghoa selalu dianggap ‘menguasai’ bidang ekonomi di Indonesia akibat kebijakan masa lalu pemerintahan yang menutup berbagai akses peran keturunan Tionghoa dalam bidang politik dan pemerintahan.

Faktanya, hanya 3% saja WNI keturunan Tionghoa yang bergelut sebagai pengusaha besar, menengah, maupun menjadi wirausahawan kecil di berbagai daerah di Indonesia.

Dr. Ir. Justian Suhandinata, SE dalam bukunya, Peran Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Politik dan Ekonomi Indonesia, (Gramedia Pustaka Utama, 2009) menyebutkan bahwa dari 10 juta WNI keturunan Tionghoa, hanya 260.000 yang menjadi wirausahawan kecil, 6.000 orang yang menjadi pengusaha menengah, dan hanya 200 saja yang menjadi konglomerat atau pengusaha besar.

Karena itu elok juga bagi kita untuk mengenang kembali kepada keberanian Gus Dur untuk membuat keputusan ini sebagai perwujudan dari gagasan pluralisme yang selalu beliau dengungkan. Dan melalui Undang-undang Nomer 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI, masyarakat keturunan Tionghoa secara undang-undang dan di mata hukum, mempunyai kedudukan sama dengan warga negara Indonesia dari berbagai etnis lain. Sehingga sebutan ”pribumi” dan ”nonpribumi” secara substansi tidak berlaku lagi.

Sejak Era Reformasi keturunan Tionghoa telah mendapatkan hak-haknya secara bertahap, mulai dari hak berbicara/berbahasa, hak beradat-istiadat budaya, hak beragama, hingga hak berpolitik. Dalam UU no. 12 tahun 2006 itu, di pasal 2-nya secara eksplisit mengizinkan perkumpulan sosial eksklusif etnisitas bahkan kesukuan, membuat perkumpulan Tionghoa menjamur sampai 400-an organisasi.

Saya berharap masyarakat Indonesia bisa belajar bahwa pluralisme itu penting. Karena kontribusi teman-teman kita dari Tionghoa ini dalam proses kemerdekaan itu cukup banyak.

Menurut hemat saya diskriminasi karena perbedaan suku ras dan agama dalam berbagai bidang itu jangan sampai terjadi lagi.

Kini Indonesia sudah banyak perubahannya. Beberapa jabatan di kabinet pernah diduduki oleh menteri yang masih keturunan Tionghoa, seperti Kwik Kian Gie mantan Menko Perekonomian dan Mari Elka Pangestu (terlahir Marie Pang) yang pernah menjabat Menparekraf (Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif).

Apalagi salah satu sosok yang banyak dibicarakan dewasa ini adalah tentang Ahok yang menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Pada awalnya tokoh bernama Basuki Purnama ini banyak disumpah-serapahi, namun sekarang ia malah dicintai oleh masyarakat.

Kenapa?

Karena ternyata dia lebih baik dari yang lainnya. Masyarakat sudah lelah melihat sosok pemimpin yang hanya bekerja untuk kepentingan sesaat dan memimpin karena latar belakang agama, suku, bangsa, atau golongan.

Masyarakat kini lebih melihat apakah seorang pemimpin itu bisa memberikan manfaat yang lebih banyak kepada masyarakat secara keseluruhan atau tidak. Itu sebenarnya bottom line-nya.

Dan saya berharap begitu pun dalam soal kepemimpinan nasional.

Akan terjadi perubahan signifikan bahwa kini dan di masa mendatang orang tidak lagi melihat latar belakang suku, agama, keturunan, kelompok saja dalam menentukan pemimpin, melainkan berdasarkan pada kemampuan atau kapabilitas pemimpin tersebut dalam mengemban tugas yang berat di republik tercinta ini.

(Sumber: www.luhutp[WhatsApp自动截断]

Selamat TAHUN BARU IMLEK 2574 Kongzili.

 

Tags:

Kirim opini anda disini

Kami menerima tulisan berupa opini masyarakat luas tentang kewarganegaraan, administrasi kependudukan, dan diskriminasi

Klik Disini

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow us on

Jangan ragu untuk menghubungi kami
//
Eddy Setiawan
Peneliti Yayasan IKI
//
Prasetyadji
Peneliti Yayasan IKI
Ada yang bisa kami bantu?