loader image
021- 2510670
sekretariat@yayasan-iki.or.id

Kolom Penghayat Kepercayaan Meningkat: Dukcapil Ponorogo

Kolom Penghayat Kepercayaan Meningkat: Dukcapil Ponorogo

5 views
Pasca Putusan MK Dinas Dukcapil Ponorogo banyak menerima permintaan perubahan kolom agama ke kolom penghayat kepercayaan.
Ruang Layanan Dinas Dukcapil Ponorogo (Foto: ANTARA/HO-Prastyo)
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Ponorogo kembali mencatat sebuah perkembangan penting dalam implementasi hak-hak sipil warga negara. Disdukcapil setempat melaporkan adanya peningkatan permohonan perubahan isi kolom agama pada KTP, Kartu Keluarga (KK), maupun Kartu Identitas Anak (KIA) menjadi “Penghayat Kepercayaan”. Fenomena ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap hak identitas kepercayaan kian menguat, seiring dengan landasan hukum yang lebih kokoh pasca-putusan Mahkamah Konstitusi. Peningkatan permintaan kolom penghayat kepercayaan ini tidak hanya terjadi di Ponorogo tapi di sejumlah daerah lainnya.

Landasan Hukum: Putusan MK 97/2016

Sejak Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016, negara diwajibkan mengakui penganut kepercayaan dalam administrasi kependudukan. Dalam pertimbangannya, MK menegaskan:

“Negara harus hadir untuk memberikan pengakuan, penghormatan, dan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional penganut kepercayaan agar mereka memperoleh kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan tanpa diskriminasi.”

Putusan ini mematahkan praktik diskriminatif yang selama puluhan tahun membuat penganut kepercayaan harus “mengosongkan” kolom agama, atau terpaksa memilih salah satu dari enam agama yang diakui negara. Kini, penghayat kepercayaan berhak menuliskan identitasnya secara resmi dalam dokumen kependudukan dan pencatatan sipil.

Data di Ponorogo: 62 Pemohon, Termasuk Anak-anak

Menurut keterangan pejabat fungsional Disdukcapil Ponorogo, Puryanti, hingga pertengahan September 2025 tercatat 62 permohonan perubahan kolom agama menjadi penghayat kepercayaan. Menariknya, satu di antaranya berasal dari anak-anak yang kolom agamanya di KIA kini tercetak sebagai “Penghayat Kepercayaan”. Fakta ini penting karena menegaskan bahwa pengakuan tidak hanya berlaku bagi orang dewasa, tetapi juga untuk generasi muda sejak dini.

Puryanti menegaskan bahwa tidak ada syarat khusus bagi masyarakat yang ingin mengganti kolom agama menjadi penghayat kepercayaan. Warga cukup membawa KTP lama, KK, atau KIA (untuk anak), disertai surat keterangan dari pemangku kepercayaan. Satu hal yang krusial adalah aliran atau kelompok kepercayaan tersebut harus memiliki legalitas formal berupa surat keputusan dari Kementerian Hukum dan HAM.

Seluruh layanan ini diberikan gratis dan bisa diakses di kantor Dispendukcapil maupun Mal Pelayanan Publik Ponorogo.

Sayang Nama Agama Lokal Belum Tercetak di Dokumen

Pada dokumen resmi seperti KTP, KK, maupun KIA, kolom agama hanya akan tercetak sebagai “Penghayat Kepercayaan” tanpa menyebut nama aliran tertentu. Namun, dalam formulir permohonan, pemohon wajib menuliskan nama aliran atau kelompok kepercayaannya secara lengkap. Data ini digunakan untuk keperluan internal administrasi, tetapi tidak tampil di dokumen publik.

Fenomena meningkatnya permohonan ini tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial-keagamaan di Ponorogo dan Indonesia pada umumnya. Selama puluhan tahun, penganut kepercayaan ditempatkan pada posisi marginal dalam urusan administrasi kependudukan. Kini, dengan adanya implementasi putusan MK, ruang pengakuan semakin terbuka.

Di Ponorogo, sebuah daerah dengan sejarah panjang sinkretisme budaya dan religius, langkah ini bukan hanya soal administrasi teknis, tetapi juga pengakuan simbolis terhadap keragaman keyakinan masyarakat.

Dampak dan Tantangan

Peningkatan permohonan kolom Penghayat Kepercayaan di Ponorogo ini memperlihatkan adanya pergeseran kesadaran identitas. Hal ini menegaskan bahwa keberagaman keyakinan bukanlah anomali, melainkan bagian integral dari masyarakat Indonesia. Dalam jangka panjang, kebijakan ini berpotensi memperkuat inklusi sosial dan memperkaya narasi kebangsaan.

Namun, tantangan tetap ada. Relasi antara penganut agama resmi dan penghayat kepercayaan masih memerlukan dialog yang berkesinambungan. Pengakuan administratif hanyalah pintu masuk; penerimaan sosial menjadi kunci agar masyarakat tidak terjebak pada dikotomi mayoritas–minoritas. Ponorogo, dengan sejarah pluralitasnya, kini tengah menjadi ruang uji penting bagi bagaimana negara dan masyarakat dapat berjalan bersama dalam mengakui keragaman keyakinan secara setara.@esa

Diolah dari: Antara News

Tags:

Kirim opini anda disini

Kami menerima tulisan berupa opini masyarakat luas tentang kewarganegaraan, administrasi kependudukan, dan diskriminasi

Klik Disini

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow us on

Jangan ragu untuk menghubungi kami
//
Eddy Setiawan
Peneliti Yayasan IKI
//
Prasetyadji
Peneliti Yayasan IKI
Ada yang bisa kami bantu?