loader image
021- 2510670
sekretariat@yayasan-iki.or.id

Tragedi Amira: Ketika Kewarganegaraan Hilang (1)

Tragedi Amira: Ketika Kewarganegaraan Hilang (1)

5 views
Tragedi yang dialami Amira terjadi karena proses tidak legal di masa lalu yang dilakukan ketika orangtua yang bersangkutan bekerja di Malaysia.
Amira bersama Putrinya Zahira di depan Rumah Detensi Kantor Imigrasi Agam Sumatera Barat sebelum dideportasi ke Malaysia pada 17 Oktober 2025 lalu (Foto: Kompas.Id)
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Payakumbuh, medio 1990-an. Di sebuah kampung kecil di pinggiran kota, seorang anak perempuan berusia delapan tahun dibawa oleh ibunya dari Melaka, Malaysia, menuju rumah keluarga baru di Sumatra Barat. Nama aslinya Nor Amira binti Ramli. Ia lahir dari pasangan laki-laki bernama Ramli, seorang warga negara Malaysia dengan seorang perempuan warga negara Singapura, Nuraini. Pasangan ini bercerai, saat Nur Amira dalam kandungan. Ramli kemudian meninggal dunia pada 2012. Ia pun dilahirkan di Malaysia pada 28 September 1988. Tujuh tahun kemudian, pada 1995 sang ibu menikah dengan seorang laki-laki warga negara Indonesia di Malaysia.

Martius, sang ayah tiri adalah orang Indonesia asal Payakumbuh. Sehingga sekira setahun setelah pernikahannya dengan Nuraini. Ia memboyong keluarga barunya tersebut ke daerah asalnya. Tercatat kedatangannya pada 24 Agustus 1996. Amira baru berusia delapan tahun ketika pertama kali menginjakkan kaki di Payakumbuh. Statusnya masih memiliki kewarganegaraan Malaysia. Indikatornya adalah paspor terbitan Melaka Malaysia dengan masa berlaku 12 Agustus 1996-12 Agustus 2001.

Lemahnya Pengawasan Keimigrasian dan Sistem Kependudukan Manual yang Problematik

Sejak kedatangannya tersebut orangtua Amira tidak pernah mengurus perpanjangan ijin tinggal sebagai orang asing ke kantor imigrasi setempat. Anehnya, pihak imigrasi tampaknya tidak mendeteksi hal ini, padahal mereka memasuki wilayah Indonesia secara resmi. Bukankah kantor imigrasi memiliki petugas pengawasan orang asing? bagaimana sistem tidak menotifikasi adanya orang asing yang overstay?

Akhirnya mereka pun hidup layaknya orang Indonesia. Nuraini dan Amira bahkan masuk dalam Kartu Keluarga Martius sebagai WNI. Amira pun tumbuh sebagai anak Payakumbuh. Ia menempuh pendidikan di sekolah sebagaimana teman-temannya, dan saat berusia 17 tahun, ia memperoleh Kartu Tanda Penduduk WNI. Jadi sekira setahun sebelum UU Administrasi Kependudukan disahkan. Bahkan ia beberapa kali menjadi pemilih dalam beberapa kali pesta demokrasi setelah memiliki KTP. Serta menikah dengan seorang WNI pada 2009, dan melahirkan anak perempuan yang diberi nama Zahira. Enam tahun kemudian ia bercerai.

Pada tahun 2006, Indonesia memiliki UU Administrasi Kependudukan, pertama kali sejak masa kemerdekaan. Pada masa orde baru memang sudah ada rencana untuk memiliki uu tersebut, namun tidak terealisasi. Hal ini tampak pada Instruksi Presidium Kabinet Nomor 31/U/IN/12/1966 yang memerintahkan:

“Sambil menunggu undang-undang catatan sipil yang bersifat nasional, untuk sementara memakai ikhtisar akta-akta catatan sipil yang masih tersedia dengan menghapuskan perkataan golongan pada kepala ikhtisar akta catatan sipil dan mengganti dengan perkataan Warga Negara Indonesia dan dicantumkan staatsbladnya.”

Sejak terbitnya instruksi tersebut, baru pada 2006 atau sekira 40 tahun kemudian Indonesia memiliki “UU Catatan Sipil yang bersifat nasional” atau disebut UU Administrasi Kependudukan. Maka, setelah memiliki undang-undang pendataan yang lebih tertib pun mulai dilakukan, dan diawali dengan pendataan manual. Baru pada 2009 dilaksanakan program percontohan di 4 kabupaten/kota untuk KTP Elektronik, yaitu Denpasar, Yogyakarta, Makassar, dan Padang. Selanjutnya barulah mulai diterapkan secara nasional mulai 2011-2012.

…..Bersambung.

Sumber:

Yola Sastra, Kompas.Id

Halbert Caniago,BBC.Com,

Muhammad Afdal Afrianto, Tribunnews Padang

Tags:

Kirim opini anda disini

Kami menerima tulisan berupa opini masyarakat luas tentang kewarganegaraan, administrasi kependudukan, dan diskriminasi

Klik Disini

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow us on

Jangan ragu untuk menghubungi kami
//
Eddy Setiawan
Peneliti Yayasan IKI
//
Prasetyadji
Peneliti Yayasan IKI
Ada yang bisa kami bantu?