Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Andreas Hugo Pareira, menyoroti perbedaan mencolok dalam proses mendapatkan kewarganegaraan Indonesia. Ia menilai, naturalisasi pemain tim nasional berjalan jauh lebih cepat dibandingkan warga biasa. Termasuk dalam kasus ini adalah anak hasil perkawinan campuran antara WNI dan WNA. Hal tersebut disampaikannya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang kemudian dengan persetujuan rapat juga menjadi Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU).
RDP menghadirkan perwakilan pemerintah yakni Deputi dari Kementerian Sekretariat Negara, Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU), dan Sekretaris dirjen Keimigrasian dan Pemasyarakatan. Sedangkan perwakilan masyarakat yang diundang adalah Masyarakat Perkawinan Campuran (Perca), untuk membahas masalah yang dihadapi Anak Berkewarganegaraan Ganda.
Menurut Andreas, dari Perca banyak laporan kasus anak-anak hasil perkawinan campuran yang hingga kini belum memiliki status kewarganegaraan jelas. Bahkan ada yang terjebak menjadi stateless alias tak berkewarganegaraan, ada juga yang hampir mengalami statelessness. Kondisi ini berdampak serius: mulai dari terhambatnya pendidikan, sulitnya akses pekerjaan, hingga hilangnya masa depan mereka. “Ketidakpastian status kewarganegaraan telah menimbulkan dampak yang serius. Anak-anak bangsa tidak boleh kehilangan haknya hanya karena persoalan administratif, padahal kewarganegaraan itu hak konstitusional” kata Andreas dalam RDP bersama pemerintah Rabu, 1 Oktober 2025.
Ia pun sempat menyampaikan keheranannya, karena naturalisasi untuk timnas sepak bola misalnya, “kok bisa sangat cepat, padahal kaitan darah Indonesianya dari nenek. Sementara pada kasus kawin campur ini, hubungannya masih langsung dari orangtuanya.” ungkapnya. Selain itu dalam pengantarnya ia juga menyoroti Pasal 6 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang menurutnya masih menimbulkan tafsir berbeda. Hal ini berujung pada kesulitan administrasi bagi mereka yang menjadi subyek ABG. Hal ini bisa terjadi karena perlakuan terhadap anak hasil perkawinan campuran semua disamakan, dan cenderung dianggap asing
Soal Kendala Para Pemohon
Sementara itu, Direktur Jenderal Administrasi Hukum Kementerian Hukum dan HAM, Widodo, menyebut sejak 2021 hingga 2025 pihaknya telah menyelesaikan 921 permohonan kewarganegaraan. Ia menegaskan, layanan digital sudah dibuka untuk mempermudah pengajuan, terutama bagi perkawinan campuran. Bagi anak hasil perkawinan campuran, pemerintah memberikan kewarganegaraan ganda terbatas. Namun, mereka wajib memilih kewarganegaraan sebelum usia 21 tahun atau setelah menikah. Jika lewat batas waktu, maka otomatis dianggap sebagai warga negara asing.
Namun menurut data dari Perca, permohonan kewarganegaraan anak-anak perkawinan campuran justru banyak mengalami kendala. Salah satunya proses pemeriksaan oleh Badan Intelijen Negara, yang menurut perwakilan dari Sekretariat Negara sebenarnya sudah diatur 14 hari. Tapi praktiknya, bisa bulanan hingga tahunan. Hal ini tentu menimbulkan resiko bagi para pemohon, yang dalam proses juga diharuskan melepaskan kewarganegaraan asingnya terlebih dahulu. Hal inilah yang membuka celah terjadinya kekosongan status, karena belum sah sebagai Warga Negara Indonesia tapi juga sudah sah kehilangan kewarganegaraan asingnya.@esa