loader image
021- 2510670
sekretariat@yayasan-iki.or.id

Diperlukan Media Dalam Penyerbukan Silang Antarbudaya

Diperlukan Media Dalam Penyerbukan Silang Antarbudaya

66 views
Ilustrasi sejarah era Hindia Belanda yang menunjukkan diskriminasi sosial politik
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Catatan kecil masalah kewarganegaraan & kependudukan

Pemerintah Hindia Belanda secara politik menerapkan diskriminasi dengan menggolongkan warga masyarakat dalam:

  • Golongan Eropa
  • Golongan Timur Asing
  • Golongan Bumiputera

Begitu pula dalam hal Catatan Sipil, pemerintah HB menggolongkan masyarakat atas dasar etnis dan agama:

  • Stb 1917 untuk etnis Tionghoa
  • Stb 1920 untuk Bumiputera yang tinggal di Jawa & Madura yang beragama Non Kristen
  • Stb 1933 untuk Bumiputera yang tinggal di Jawa, madura, Ambon, dan Minahasa

Penggolongan ini tidak terkait dengan masalah kewarganegaraan, tetapi akibat penggolongan ini, maka sejak tahun 1933. Akta catatan sipil khususnya akta kelahiran dan akta perkawinan hanya dimiliki sekelompok kecil orang


Menentukan Siapa Warga Negara Indonesia ?

Perjuangan mendirikan NKRI dalam sidang BPUPKI, a.l. menentukan siapa yang menjadi warga negara Indonesia.

  • Yamin: yang menjadi WNI adalah orang bangsa Indonesia dan penduduk yang pada saat Proklamasi bertempat kediaman di Indonesia. Kecuali menolak dalam waktu 6 bulan dengan Hak Repudiatie
  • Soetardjo: semua penduduk adalah Nederlandsch Onderdaan
  • AA Maramis: semua orang peranakan diberi kedudukan dengan warga negara
  • Liem Koen Hian: ditetapkan saja orang-orang Tionghoa menjadi WNI, tapi diberi kemerdekaan, siapa yang tidak suka boleh menolak
  • Dahler: ditetapkan saja semua peranakan untuk menjadi WNI
  • Baswedan: ditetapkan saja orang-orang Arab menjadi WNI

Pemikiran-pemikiran tersebut kemudian diwadahi dalam Pasal 1 ayat a dan b UU No 3/1946, yaitu Warga Negara Indonesia adalah:

  1. Orangyang asli dalam daerah Negara Indonesia
  2. Orang yang tidak masuk dalam golongan tersebut di atas akan tetapi turunan dari seorang dari golongan itu dan lahir. Bertempat kedudukan dan kediaman di dalam daerah negara Indonesia, dan orang bukan turunan seorang dari golongan termaksud. Yang lahir dan bertempat kedudukan dan kediaman selama sedikit-ikitnya 5 tahun berturut-turut. Yang paling akhir di dalam daerah negara Indonesia, yang telah berumur 21 tahun atau telah kawin

Ini adalah para pemukim yang sesungguhnya WNI, yaitu lahir di dalam daerah negara Indonesia. Tetapi tidak dipersoalkan dari mana asal-usulnya, hanya disyaratkan sedikitnya bertempat kedudukan dan berdiam sedikitnya 5 tahun. Atau telah berusia 21 tahun atau telah kawin

Berdasarkan UU 3/1946, mereka diberi kesempatan untuk menentukan status kewarganegaraannya dalam jangka waktu 2 tahun. Sampai dengan tanggal 17 Agustus 1948

C L E A R : Masalah status kewarganegaraan sudah tuntas sejak Proklamasi 17-8-1945
NKRI hanya mengenal WNI dan WNA
Kepemilikan akta catatan sipil hanya sekelompok kecil orang


Campur tangan asing & kebijakan rasialis

  • Terjadinya perjanjian KMB tahun 1949 dan perjanjian Dwi Kewarganegaraan RI-RRC tahun 1955. Adalah campur tangan asing yang sesungguhnya menciderai kedaulatan NKRI dalam hal kewarganegaraan
  • Begitu pula kebijakan rasialis PerPres No 10/1959. Telah mengakibatkan “Malapetaka” bagi orang-orang yang sesungguhnya WNI menjadi tanpa dokumen identitas

 

Dikasih “Permen” setiap menjelang Pemilu

Ada upaya penyelesaian masalah kewarganegaraan ini yang dilakukan Pemerintah terutama menjelang Pemilihan Umum, seperti:

  • SBKRI Inpres 2/1980 di 5 wilayah
  • SBKRI Khusus warga Kalimantan Barat tahun 1991/1992
  • SK Menkeh dan Surat Menkeh kepada Mendagri 10 Juli 1992 mengenai tidak perlu SBKRI
  • Naturalisasi yang dipermudah dan dipercepat tahun 1995 (menjelang Pesta Emas Kemerdekaan RI)
  • Kepres 56/1996 mengenai tidak perlu SBKRI

Peraturan Perundangan cukup memadai

Untuk mempercepat proses “penyerbukan” siapa warga negara Indonesia, dari sisi peraturan perundangan. Telah banyak diterbitkan peraturan yang dirasa cukup mewadahi, a.l.:

  • UU No 39/1999 tentang HAM
  • UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak
  • UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan
  • UU No 23/2006 jo UU No 24/2013 tentang Adminduk

Kenyataan di lapangan

  • Akibat perlakuan diskriminatif sejak zaman HB, saat ini masih 60% rakyat Indonesia tidak memiliki akta kelahiran
  • Akibat perjanjian Dwi Kewarganegaraan RI-RRC, masih puluhan ribu orang tidak memiliki identitas kewarganegaraan/kependudukan. Mereka dihantui rasa ketakutan karena tanpa dokumen. Mereka tidak terpenuhi hak-hak dasar nya sebagai manusia dan warga Negara. Sehingga tidak mendapat pelayanan sebagaimana mestinya. Kesulitan untuk sekolah, dsb. Akhirnya mereka menjadi miskin dan terbelakang.

Yang telah dilakukan Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI)

Ditegaskan dalam UU bahwa: setiap orang berhak memiliki nama dan kewarganegaraan; sedangkan nama dan kewarganegaraan. Itu diwadahi dalam akta kelahiran; berdasarkan UU No 23/2006 jo UU 24/2014. Akta kelahiran wajib diberikan kepada seluruh bangsa Indonesia secara GRATIS. Maka, IKI yang kegiatan sosial nya sudah dimulai sejak berdirinya Yayasan Prasetiya Mulya (YPM). Telah melakukan kerjasama dengan beberapa Pemda/Pemkot (seperti: Tebing Tinggi, Palembang, Bangka, Sambas, Singkawang, Bayumas, Tangerang, Tangsel, dll). Untuk memberikan akta kelahiran Gratis kepada masyarakat.

Kendala Awal di Lapangan

  • Masih banyak daerah yang menerbitkan Perda-Perda mengenai Denda Keterlambatan dalam mengurus akta
  • Masih ditemukan persyaratan SBKRI dalam pengurusan dokumen-dokumen


Peran Media

Penyerbukan silang antarbudaya khususnya dalam masalah kewarganegaan dan kependudukan. Memerlukan dukungan media dalam sosialisasi dan pemberitaannya, agar terjadi harmoni antara kewajiban pemerintah dan pemenuhan hak kepada masyarakat.@adji

Jakarta,  September 2025

https://www.yayasan-iki.or.id/opini/23/09/2025/ketika-anak-anak-bule-itu-menjadi-wni/

Tags:

Kirim opini anda disini

Kami menerima tulisan berupa opini masyarakat luas tentang kewarganegaraan, administrasi kependudukan, dan diskriminasi

Klik Disini

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow us on

Jangan ragu untuk menghubungi kami
//
Eddy Setiawan
Peneliti Yayasan IKI
//
Prasetyadji
Peneliti Yayasan IKI
Ada yang bisa kami bantu?