loader image
021- 2510670
sekretariat@yayasan-iki.or.id

Ujian Kewarganegaraan: Antara Kepatuhan dan Kesadaran Kritis

Ujian Kewarganegaraan: Antara Kepatuhan dan Kesadaran Kritis

6 views
Pendidikan kewarganegaraan di Indonesia antara membangun kepatuhan atau kesadaran kritis?
Pendidikan Kewarganegaraan antara Kepatuhan atau Kesadaran Kritis
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Ujian dalam Pendidikan Kewarganegaraan sering dipahami sebatas alat ukur: soal, jawaban, dan angka yang kemudian dijadikan dasar penilaian. Namun, jika ditelisik lebih dalam, ujian kewarganegaraan tidak pernah sekadar teknis. Ia adalah ruang politik, ideologis, dan pedagogis, tempat negara berusaha membentuk warga negara sesuai kerangka normatif yang diinginkannya.

Setiap soal ujian, dari yang paling sederhana hingga yang paling konseptual, sesungguhnya mengandung logika pembentukan subjek. Siswa tidak hanya diuji daya ingatnya, tetapi juga diarahkan untuk melihat negara, hukum, dan hak melalui lensa tertentu. Dengan begitu, ujian menjadi arena penting untuk menanamkan kepatuhan terhadap narasi resmi negara.

Ujian Kewarganegaraan: Instrumen Kepatuhan?

Pertanyaan mengenai Pancasila, misalnya, hampir selalu memiliki jawaban tunggal: jawaban yang sesuai dengan tafsir resmi negara. Hal ini memperlihatkan bagaimana ujian bekerja sebagai mekanisme kontrol. Jawaban benar bukan semata hasil nalar, melainkan tanda kepatuhan. Dengan cara itu, ujian mengukuhkan posisi negara sebagai penafsir utama makna ideologi dan kewarganegaraan.

Namun, fungsi hegemonik ini bukan berarti ujian hanya melahirkan kepatuhan buta. Justru dalam beberapa ruang pertanyaan, muncul peluang untuk menumbuhkan kesadaran kritis.

Celah bagi Kesadaran Kritis

Pertanyaan tentang hak asasi manusia misalnya, sering menekankan bahwa setiap individu memiliki martabat yang melekat sejak lahir. Gagasan ini mengajarkan bahwa ada nilai universal yang berdiri di atas negara. Bagi siswa, hal ini dapat menumbuhkan kesadaran bahwa negara tidak selalu menjadi sumber kebenaran mutlak, tetapi juga dapat dipertanyakan ketika gagal memenuhi hak warganya. Itulah sekilas gambaran ujian kewarganegaraan hari ini.

Logika kontrak sosial yang sering hadir dalam ujian juga bekerja serupa. Negara digambarkan sebagai pihak yang berhak menuntut kepatuhan karena telah melindungi dan menyejahterakan warganya. Tetapi, jika negara lalai memenuhi kewajibannya—misalnya dalam menyediakan pendidikan yang layak—maka legitimasi itu bisa digugat. Dengan kerangka ini, siswa diperkenalkan pada ide bahwa hubungan warga-negara adalah kontraktual, bukan hubungan sepihak.

Dua Kutub Ujian Kewarganegaraan

Dari sini terlihat bahwa ujian kewarganegaraan selalu bergerak di antara dua kutub. Di satu sisi, ia adalah instrumen kepatuhan yang mengikat siswa pada tafsir negara. Di sisi lain, ia juga menyimpan benih kritis yang memungkinkan siswa membaca ulang relasi mereka dengan negara.

Oleh karena itu, keberhasilan Pendidikan Kewarganegaraan tidak cukup diukur dari angka ujian atau tingkat kelulusan. Pertanyaan yang lebih penting adalah: apakah pendidikan ini hanya melahirkan warga yang patuh, atau juga membentuk warga yang kritis dan sadar bahwa hukum, konstitusi, serta ideologi adalah arena yang selalu bisa ditafsir ulang sesuai kebutuhan zaman?

Catatan Akhir

Ujian kewarganegaraan pada akhirnya bukanlah sekadar prosedur birokratis. Ia adalah cermin dialektika antara kepatuhan dan kesadaran kritis. Di satu sisi, menampilkan wajah negara sebagaimana ia ingin dilihat; di sisi lain, memperlihatkan potensi emansipatif yang tumbuh dalam diri warga muda.

Jika ruang kritis ini disadari, maka Pendidikan Kewarganegaraan tidak hanya menjadi sarana domestikasi, melainkan juga jalan pemberdayaan. Sebuah proses yang menuntun generasi muda untuk terus menegosiasikan makna kewarganegaraan, serta merumuskan ulang cita-cita republik agar selalu relevan dengan realitas yang terus berubah. Buku ajar wajib Pendidikan Kewarganegaraan dari pemerintah sudah tersedia, namun apakah itu sudah memadai?

Di tengah situasi sosial-politik Indonesia hari ini—dari perdebatan soal kebebasan berekspresi, kualitas demokrasi, hingga praktik hukum yang sering timpang—pertanyaan di lembar ujian kewarganegaraan seharusnya tidak berhenti pada “jawaban benar” versi negara. Ia perlu dibaca sebagai ruang pembelajaran kritis, agar generasi muda tidak hanya tahu bagaimana menjadi warga yang patuh, tetapi juga berani menuntut negara ketika janji kontrak sosial tidak terpenuhi.@esa

Tags:

Kirim opini anda disini

Kami menerima tulisan berupa opini masyarakat luas tentang kewarganegaraan, administrasi kependudukan, dan diskriminasi

Klik Disini

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow us on

Jangan ragu untuk menghubungi kami
//
Eddy Setiawan
Peneliti Yayasan IKI
//
Prasetyadji
Peneliti Yayasan IKI
Ada yang bisa kami bantu?