loader image
021- 2510670
sekretariat@yayasan-iki.or.id

Z Sebatang Kara karena WNI: Tragedi Amira (3)

Z Sebatang Kara karena WNI: Tragedi Amira (3)

3 views
Tragedi yang dialami Amira terjadi karena proses tidak legal di masa lalu yang dilakukan ketika orangtua yang bersangkutan bekerja di Malaysia.
Amira bersama Putrinya Z di depan Rumah Detensi Kantor Imigrasi Agam Sumatera Barat sebelum dideportasi ke Malaysia pada 17 Oktober 2025 lalu (Foto: Kompas.Id)
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kasus yang dialami Nur Amira pada awalnya diungkap oleh Z, putrinya. Ia mengungkapkannya melalui sepucuk surat yang ditulisnya untuk Kepala Kantor Imigrasi Agam pada 24 September 2025. Dalam surat tersebut, Z memohon agar ibunya tidak kembali dideportasi. Surat itu juga ditembuskan kepada Menteri Imigrasi dan Permasyarakatan serta Ombudsman Sumatera Barat. Sehari kemudian, Kamis (25/9/2025), Z melapor langsung ke Ombudsman Sumbar. Sejak ibu dan neneknya dideportasi, Z sebatang kara karena WNI, rezim hukum kewarganegaraan di tiga negara memisahkan mereka.

Surat Sang Putri

Z menulis dengan kalimat yang sederhana namun menyayat hati. Ia menjelaskan bahwa sejak lahir ia ditinggalkan ayahnya, dan hidup hanya bergantung pada ibunya yang bekerja di sektor swasta.

“Jika ibu dideportasi, saya takut tidak bisa ketemu ibu lagi. Saya tidak punya siapa-siapa selain ibu. Selama ini, ibu sendirian yang menanggung biaya hidup dan sekolah saya,” kata Z ketika dihubungi dari Padang, Jumat malam.

Dalam surat itu pula, Z menceritakan bagaimana ibunya telah berulang kali mengalami deportasi oleh dua negara yang sama-sama menolak mengakuinya. Di Malaysia, Nur Amira bahkan sempat ditahan dua bulan di Penjara Kajang sebelum akhirnya dideportasi ke Indonesia. Namun setelah lima bulan hidup bersama anaknya, ia kembali ditahan oleh Kantor Imigrasi Agam pada 19 September 2025, tanpa kejelasan status hukum maupun surat berita acara penahanan.

“Ibu ditahan tanpa ada surat berita acara penahan,” tulis Z kepada Ombudsman.

Kini Z hidup dalam ketidakpastian. Ia masih duduk di bangku sekolah, tanpa orang tua, tanpa kepastian kapan bisa bertemu ibunya lagi. Ayahnya telah lama pergi, dan ibunya justru dikurung di negeri yang seharusnya melindungi warganya.

Kisah ini menggambarkan betapa rumitnya persoalan kewarganegaraan di Indonesia, terutama ketika hukum administrasi tidak selaras dengan kenyataan sosial. Nur Amira, yang lahir di Malaysia, besar dan bersekolah di Indonesia, menikah dengan WNI, memiliki KTP dan anak WNI, tiba-tiba dianggap bukan siapa-siapa—baik oleh Indonesia maupun Malaysia.

Sementara Z, yang sah sebagai warga negara Indonesia berdasarkan garis keturunan ayahnya, justru kehilangan hak paling mendasar: hak untuk hidup bersama orang tua dan mendapat perlindungan negara. Bagaimana perlindungan anak dalam hal seperti ini? apakah wajar membiarkan seorang anak hidup sebatang kara, sementara ibunya tanpa kejelasan nasib di negara yang berbeda.

“Saya takut tidak bisa hidup tanpa ibu. Tidak ada lagi yang bisa saya panggil keluarga selain dia,” kata Z lirih.

Terpisah karena Negara

Kasus Nur Amira kini tengah ditangani oleh Ombudsman Sumatera Barat, yang berjanji menelusuri dasar hukum penahanan serta prosedur deportasi yang dilakukan oleh Kantor Imigrasi Agam. Namun di luar aspek hukum, kasus ini telah menjadi potret nyata bagaimana sistem kewarganegaraan dan administrasi kependudukan yang tidak sinkron dapat melahirkan tragedi kemanusiaan.

Nur Amira mungkin hanyalah satu dari sekian banyak orang yang tersesat di antara batas negara dan kekakuan hukum. Tapi bagi Z, ia adalah seluruh hidupnya. Kini, Z benar-benar sebatang kara — bahkan lebih dari sekedar kehilangan keluarga, karena ia juga kehilangan perlindungan dari negara atas kesatuan keluarganya.@esa

Tags:

Kirim opini anda disini

Kami menerima tulisan berupa opini masyarakat luas tentang kewarganegaraan, administrasi kependudukan, dan diskriminasi

Klik Disini

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow us on

Jangan ragu untuk menghubungi kami
//
Eddy Setiawan
Peneliti Yayasan IKI
//
Prasetyadji
Peneliti Yayasan IKI
Ada yang bisa kami bantu?