Berbicara mengenai masalah kewarganegaraan, tentu mau tidak mau kita harus memperhatikan dan menghayati suasana batin para pendiri bangsa. Dalam sidangnya di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) maupun Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Sebagaimana disadari, para pendiri bangsa ini berkumpul dari berbagai latar belakang suku, agama, ras, dan golongan. Untuk satu tujuan, yaitu mempersiapkan Kemerdekaan Indonesia.
Sidang yang dimulai dari tanggal 28 Mei 1945 sampai dengan 22 Agustus 1945 ini membicarakan masalah-masalah yang substantive. Yaitu: Dasar Negara, Wilayah Negara, Warga Negara, dan Rancangan Undang-Undang Dasar.
Wilayah, menjadi salah satu topik dalam sidang ini. Karena memang wilayah Nusantara sejak zaman Hindia-Belanda yang kemudian menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terdiri dari kepulauan delapan (Jawa, Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Melayu, seluruh Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua) dengan pulau-pulau kecil sekelilingnya.
Selanjutnya, terkait masalah Warga Negara, diingatkan oleh anggota BPUPKI. Soetardjo yang menyatakan bahwa sebelum ada ketentuan tentang warga Negara, maka semua adalah “Nederlandsch Onderdaan”. Pendapat ini di-amin-ni oleh anggota lainnya, seperti anggota Liem Koen Hian yang menyampaikan kepada sidang BPUPKI. Bahwa, “pemuka-pemuka Tionghoa di Malang dan di Surabaya telah meminta kepada saya. Agar disampaikan kepada badan penyelidik, supaya ditetapkan saja, bahwa semua orang Tionghoa menjadi Warga Negara Indonesia. Tetapi diberi kemerdekaan, bahwa siapa yang tidak suka boleh menolak”.
AR Baswedan juga menyampaikan kepada sidang BPUPKI bahwa, tidak ada seorangpun dari pada peranakan Arab yang mengingini. Mencita-citakan kerakyatan lain dari pada kerakyatan Indonesia.
Untuk itu, maka seiring Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan berlakunya Undang-Undang tentang Kewarganegaraan. Yaitu UU No 3 tahun 1946 jo UU No 6 tahun 1947 jo UU No 8 tahun 1947, maka kepada orang-orang keturunan timur asing (Arab, India, Tionghoa), dll). Diberikan masa opsi (masa untuk menentukan kewarganegaraan) selama dua tahun sampai dengan tanggal 10 April 1948.
Pada masa opsi ini berlaku stelsel pasif, artinya apabila diam, berarti memilih menjadi Warga Negara Indonesia.
Terjadinya Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Kerajaan Belanda, yang berlangsung di S’Gravenhage tahun 1949, membawa pengaruh terhadap masalah kewarganegaraan.
Dalam pasal 5 Persetujuan perihal pembagian warga Negara (Lembaran Negara 1950 Nomor 2) dijelaskan, “orang asing yang kaulanegara Belanda bukan orang Belanda yang telah dewasa menjelang waktu penyerahan kedaulatan dan yang lahir di Indonesia atau bertempat tinggal di Republik Indonesia Serikat mendapat kebangsaan Indonesia tetapi berhak menolaknya dalam waktu yang ditetapkan.
Dalam perjanjian KMB ini, masa opsi berlangsung dari tanggal 27 Desember 1949 sampai dengan 27 Desember 1951. Kepada warga keturunan diberi kesempatan lagi untuk menentukan kewarganegaraannya. Dan pada masa opsi ini berlaku stelsel pasif, artinya apabila diam, berarti tetap memilih menjadi Warga Negara Indonesia.
Catatan:
- Tahun 1946 – 1948 masa opsi pertama berkaitan berlakunya UU No 3/1946;
- Tahun 1949 – 1951 masa opsi kedua berkaitan berlakunya perjanjian KMB;
- Karena administrasi Pemerintah yang acak-kadut, akibatnya sampai hari ini tidak pernah ada dokumentasi mengenai berapa orang yang memilih menjadi Warga Negara Indonesia atau Warga Negara Asing.
Pada masa selanjutnya, adalah Pemilu tahun 1955. Dalam “pesta” ini, tentu saja yang berhak mengikuti pemilu adalah Warga Negara Indonesia.
Dengan demikian, sudah menjadi jelas dan tuntas, bahwa semua orang yang mengikuti pemilu beserta keturunannya adalah Warga Negara Indonesia Tunggal.
Khusus bagi warga peranakan Tionghoa, “Malapetaka” mulai dirasakan ketika Pemerintah RRC menerapkan UU Kewarganegaraan dengan asas Ius Sanguinis, sehingga setiap orang yang berdarah tionghoa di claim sebagai Warga Negara RRC.
Sementara, Indonesia dengan UU Kewarganegaraan No 3/1946 mengakui bahwa setiap orang yang sudah berada di Indonesia sebelum tahun 1945 beserta keturunannya adalah Warga Negara Indonesia.
Mereka berprofesi sebagai petani, buruh, ada yang menjadi pegawai negeri sipil, tentara/polisi, dan banyak profesi lainnya.
Dengan demikian, terjadinya perjanjian Dwi-Kewarganegaraan RI-RRC adalah merupakan “Intervensi Kedaulatan” dalam hal kewarganegaraan yang dilakukan pemerintah RRC terhadap pemerintah Indonesia yang berdaulat.
Dampak politis maupun sosial ekonomi sangat dirasakan oleh keturunan tionghoa yang ada di Indonesia. Apalagi dua bulan sebelum pelaksanaan perjanjian dwi-kewarganegaraan ini, pemerintah Indonesia menerbitkan PP No 10/1959. Sungguh ini menjadi “Malapetaka” yang sangat dahsyat, karena dampaknya masih dirasakan hingga hari ini.
Kronologi “Malapetaka”-nya sbb:
1955 Ditanda-tangani perjanjian Dwi-Kewarganegaraan RI-RRC
20-1-1960 s/d 20-1-1962 Adalah masa opsi (masa menentukan kewarganegaraan) bagi warga keturunan RRC
Nop 1959 Terbit PP No 10/1959 untuk Orang Asing, tetapi
Dalam pelaksanaannya semua orang keturunan tionghoa diusir dari desa atau kecamatan untuk mengungsi dan ditempatkan di pinggiran ibukota kabupaten.
Selanjutnya mereka diberi dokumen Exit Permit Only (EPO).
>Sebagian kecil dari mereka ada yang pulang ke Tiongkok, namun sebagian besar menetap sebagai pemukim turun-temurun di wilayah Indonesia, sehingga jumlah menjadi berjuta-juta.
Sementara, anak keturunannya tidak memiliki dokumen kewarganegaraan dan kependudukan. Akibatnya terjadi “Pemiskinan Struktural”.
Langkah Penyelesaian
- Inpres No 2/1980 (SBKRI)
- Berlaku hanya 5 wilayah: Propinsi Sumatera-Utara, Riau, sebagian Sumatera-Selatan (Kabupaten Bangka-Belitung, Pangkal Pinang), Kalimantan-Barat, DKI Jakarta, Tangerang, Bekasi, Bogor, dan Karawang.
- Inpres ini menyelesaikan ± 500.000 orang
- Kepres No 57/1995 jo Inpres No 6/1995 (Naturalisasi yang dipercepat)
- Mengingat Inpres No 2/1980 dibatasi wilayah dan waktu yang hanya enam bulan, maka penyelesaian masalah kewarganegaraan pemukim keturunan tionghoa belum tuntas.
- Maka, atas permintaan Yayasan Prasetiya Mulya (YPM), terbit Kepres No 57/1995 jo Inpres No 6/1995 yang diharapkan dapat menyeelsaikan masalah kewarganegaraan ini.
- Untuk membantu pelaksanaan di lapangan, pemerintah menunjuk Yayasan Prasetiya Mulya (YPM) dan Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (Bakom-PKB) Pusat, yang dipimpin oleh Osbert Lyman, dibantu Indradi Kusuma, FX Suwardi, Paschasius HOSTI Prasetyadji, Frengky Panjaito, dan relawan lainnya.
- Kepres/Inpres ini menyelesaikan ± 180.000 kk/perorangan.
- Tahun 2000, sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Hukum dan Perundang-Undangan, Prof DR Yusril Ihza Mahendra, dalam suratnya No M.HL-03.01-07 tanggal 10 Juli 2000, masih ± 20.000 pemukim yang belum terselesaikan kewarganegaraannya.
- UU No 12/2006 Penegasan Menteri Hukum & HAM
- Atas permintaan Yayasan Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI), untuk penyelesaian masalah kewarganegaraan ini, Menteri Hukum & HAM menerbitkan kebijakan Penegasan Kewarganegaraan.
- Kebijakan Penegasan ini hanya mampu memberikan penegasan kepada ± 3.500 orang.
KESIMPULAN
Diperkirakan masih puluhan ribu pemukim keturunan tionghoa beserta keturunannya “yang dianggap asing” karena tidak memiliki dokumen kewarganegaraan dan kependudukan.
UPAYA UNTUK PENYELESAIANNYA
Menteri Hukum & HAM perlu menerbitkan kebijakan / keputusan bahwa mereka yang lahir dan turun-temurun di Indonesia ini sesungguhnya adalah Warga Negara Indonesia, oleh karena itu perlu diberikan dokumen kependudukannya.
Selanjutnya, Menteri Hukum dan HAM perlu bersurat kepada Menteri Dalam Negeri dengan menjelaskan bahwa para pemukim ini adalah Warga Negara Indonesia, dan Menteri Dalam Negeri perlu menerbitkan dokumen kependudukan yang wajib dimilikinya.
Untuk pengamanannya, peran RT, RW, Lurah setempat menjadi penting sebagai Saksi. ***
Paschasius HOSTI Prasetyadji:
Peneliti Senior pada Yayasan Institut Kewarganegaraan Indonesia (Yayasan IKI), tinggal di Jakarta.




