loader image
021- 2510670
sekretariat@yayasan-iki.or.id

Pembekalan Community Development Universitas Prasetiya Mulya

1,930 views
Sosialisasi di kampus BSD MK
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Pembekalan Kependudukan dan Catatan Sipil

Program Community Development Universitas Prasetiya Mulya

Mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa perlu diingatkan dan memahami perihal sejarah berdirinya bangsa ini, salah satunya terkait dengan status kewarganegaraan dari warga yang bermukim di wilyah Republik Indonesia. Karena syarat berdirinya suatu negara selain memiliki wilayah, juga harus memiliki rakyat. Sejak Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia sudah menggodok perihal status siapa yang disebut warganegara Indonesia, dengan lahirnya Undang-Undang No.3 tahun 1946, UU No.62 tahun 1958.

Dinamika perihal kewarganegaraan sangat dinamis terkait dinamika politik dalam negeri yang berkembang. Banyak peristiwa terkait kewarganegaraan yang memberikan dampak yang panjang bagi sebagian warga yang terkena dampak kebijakan terkait, antara lain Peraturan Presiden No.10 tahun 1959 dan pencabutan status warganegara mahasiswa Indonesia yang sedang sekolah di Eropa Timur. (ketika itu berstatus negara komunis)

Yayasan Prasetiya Mulya sepakat untuk melakukan tiga pilar kegiatan utama dalam upaya membangun bangsa dengan menghapus diskriminasi dan kecemburuan sosisal. Pilar pertama adalah perjuangan kesetaraan dan penghapusan diskriminasi kewarganegaraan dengan berbagai kebijakan pemerintah. Pilar Kedua, Yayasan Prasetiya Mulya menyakini bahwa melalui pendidikanlah perjuangan kesetaraan kewarganegaran akan tercapai dan pilar ketiga adalah pembinaan dan pengembangan UKMK untuk memperkecil kesenjangan sosial dalam masyarakat.

Dengan lahirnya UU No.12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan, diharapkan persoalan identitas warganegara dapat terselesaikan dengan tuntas. Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) merupakan yayasan nirlaba yang telah bergerak lebih dari 16 tahun dalam bidang kajian, pelayanan dan pendampingan berkenaan dengan hak dasar sipil dan Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil, sebagai identitas kewarganegaraan seseorang sesuai dengan amanah UU No.12 Tahun 2006.

IKI mengambil porsi meneruskan perjuangan Yayasan Prasetiya Mulya pada pilar perjuangan kesetaraan dan penghapusan diskriminasi kewarganegaraan dengan berbagai kebijakan pemerintah. Selama ini IKI telah banyak bekerjasama dengan lebih dari 46 Dinas Dukcapil di seluruh Indonesia dalam membantu warga rentan dokumen kependudukan dan pencatatan sipil. Dalam melaksanakan misi ini, kami selalu bekerjasama dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil setempat.

Pembicaraan singkat dengan Dekan Sekolah Bisnis Universitas Prasetiya Mulya terkait kegiatan sosial dan kinerja IKI yang merupakan bagian dari sejarah yayasan Prasetiya Mulya, mencetuskan kesepakatan kerjasama IKI dengan dalam kegiatan Community Developmet SB (Comdev SB) UPM tahun 2023 di Kabupaten Kuningan dengan program kerja “Pembaharuan Kartu Keluarga”.

Pada hari Selasa 3 Januari 2023, koordinator kegiatan sekaligus peneliti IKI Mahendra Kusumaputra melakukan pertemuaan dengan tim Comdev SB di kampus BSD untuk melakukan koordinasi kegiatan IKI didalam Comdev SB 2023. Setelah mendapatkan penjelasan tentang kegiatan IKI, tim comdev menyadari arti pentingnya dokumen kependudukan yang lengkap, benar dan tepat. Antusias  tim Comdev menyambut kerjasama ini, ditunjukan dengan langsung membuat janji dengan IKI untuk melakukan pelatihan kepada 102 ketua kelompok mahasiswa yang akan menjalani Comdev.

Comdev SB UPN tahun 2023, merupakan comdev pertama yang dilakukan terjun langsung ke lapangan sejak pandemi 2020. Comdev SB 2023 diikuti oleh 992 mahasiswa/wi SB yang terbagi dalam 102 kelompok, dimana 6-8 mahasiswa/wi ditiap kelompoknya.

Pelatihan terhadap 102 ketua kelompok dilaksanakan pada hari Jumat 13 Januari 2023, di ruang auditorium lantai 12 gedung SBE, kampus UPM, BSD. Pelatihan diberikan oleh 3 peneliti IKI, Prasetyadji, Swandy Sihotang, dan Mahendra Kusumaputra.

Perjalanan Karya dan Perjuangan Yayasan Prasetiya Mulya dalam Pilar Kewarganegaraan, Kesetaraan dan Anti Diskriminasi

  1. Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 1980

Berdasarkan  Inpres  No.  2/1980  ini,  Presiden  menginstruksikan  kepada Mendagri, Menkeh, dan Kopkamtib untuk membantu proses pelaksanaan pemberian bukti kewarganegaraan kepada warga negara Indonesia yang bukti kewarganeraannya belum ada/jelas di lima daerah, yakni Sumatera Utara, Riau, Sumatera Bagian Selatan (termasuk Bangka, Belitong, Pangkal Pinang), Kalimantan Barat, dan daerah Jabotabek. Daerah-daerah itu dipilih karena di sana banyak warga negara Indonesia yang bukti kewarganegaraannya tidak ada. Dalam pelaksanaannya di lapangan, dibuatlah  Surat  Keputusan  Bersama  (SKB)  dua  menteri  (Mendagri  dan Menkeh).

Terkait dengan program ini, YPM juga membantu proses pemilikan bukti kewarganegaraan bagi mereka yang telah puluhan tahun bermukim di Indonesia tetapi status kewarganegaraannya tidak jelas (dianggap sebagai warganegara Indonesia tetapi belum   mempunyai bukti). Berdasarkan Inpres tersebut, YPM telah membantu sekitar 500,000 penduduk hingga mendapatkan bukti kewarganegaraan Indonesia (SKBRI).

  1. Penyelesaian kasus Imigran Gelap

Tahun 1991 (menjelang Pemilu 1992), YPM mendesak Pemerintah untuk memberikan SKBRI Khusus (susulan) kepada sebagian masyarakat Kalimantan Barat yang sudah tercatat pada pelaksanaan Inpres No-2/1980 tapi belum sempat diterbitkan SKBRI-nya.

Dalam kegiatan ini, selain dilibatkan Tim Departemen Kehakiman dan Tim dari Muspida Kalbar, pemerintah juga melibatkan peran serta masyarakat. Kegiatan ini didukung penuh oleh SDR Group (sekarang Lyman Group) untuk kelancaran pelaksanaan di lapangan. SDR Group melalui Indradi Kusuma, Frengky Panjaito, FX Suwardi, dan Prasetyadji mengambil formulir SKBRI seberat 1,5 ton dari Departemen Kehakiman untuk dikirim ke Kalimantan Barat.

  1. SK MenKeh No. M.02-HL.04.10 dan  SK MenKeh No. M.UM.01.06-109, 10 Juli 1992

Agar SKBRI ini tidak menjadi permasalahan dikemudian hari, YPM juga mendesak kepada pemerintah agar untuk urusan tertentu tidak dipersyaratkan SKBRI. Akhirnya Menteri Kehakiman Ismail Saleh menerbitkan Keputusan Menteri No.M.02-HL.04.10 dan No.  M.UM.01.06-109, keduanya bertanggal 10 Juli 1992. Kebijakan tersebut menegaskan bahwa anak-anak yang orang tuanya pemegang SKBRI tidak perlu lagi memiliki SKBRI untuk pembuktian kewarganegaraannya. Cukup dengan akta kelahiran saja.

  1. Instruksi Mendagri Nomor 21/1993; Percepatan Naturalisasi

Pada dasarnya, Inpres No.2 Tahun 1980 berdasarkan SKB Menteri Kehakiman dan Menteri Dalam Negeri No.M.01-UM.09.03-80 dan SKB No.42 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pemberian Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, hanya diberlakukan bagi orang-orang yang ketika itu bertempat tinggal di lima wilayah. Yaitu Sumatera Utara, Riau, Sumatera Bagian Selatan (termasuk Bangka, Belitong, Pangkal Pinang), Kalimantan Barat, dan daerah Jabotabek. Padahal masih banyak warga di daerah lain yang belum mendapatkan SBKRI

Dari pertemuan pembina dan pengurus, akhirnya disepakati melalui Badan Penyantun YPM menyampaikan laporan dan permohonan kepada Presiden RI untuk menyelesaikan persoalan ini.

Sebagai tindak lanjutnya, Menteri Dalam Negeri menerbitkan Instruksi No. 21 tahun 1993 untuk menyelenggarakan pengumpulan data mengenai Penduduk Tionghoa Asing Pemukim. Hasilnya, tercatat data ada 208.820 pemukim keturunan Tionghoa yang kembali berhasil mendapatkan status Kewarganegaraan Indonesia.

  1. Kepres Nomor 57/1995 Kemudahan Naturalisasi

Mempertimbangkan jumlah pemukim asing keturunan Tionghoa yang jumlahnya sangat besar dari hasil pengumpulan data tersebut, para pendiri YPM mengumpulkan anggotanya di Wisma Indocement. Di sana mereka memutuskan untuk mendesak kembali Presiden dalam memberikan SBKRI sebagaimana kebijakan Inpres Nomor 2/1980.

Melalui surat menyurat yang intensif kepada Presiden, akhirnya terbitlah Keputusan Presiden No.57 tahun 1995 Juncto Inpres No. 6 tahun 1995 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Pewarganegaraan RI yang memberi kemudahan kepada pemohon naturalisasi atau kewarganegaraan Indonesia.

Substansi Inpres ini sebenarnya tidak berbeda jauh dengan naturalisasi, hanya saja prosesnya dipercepat menjadi maksimal satu tahun dengan biaya relatif murah. Untuk membantu kelancarannya, Pemerintah menunjuk YPM dan Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (Bakom PKB).

  1. Pembentukan TP4C

Untuk melaksanakan Inpres tersebut, tahun 1995 dibentuk Tim Asistensi Penyelesaian Permohonan kewarganegaraan Pemukim China (TP4C) yang keanggotaannya terdiri dari Bakom PKB Pusat dan YPM. Dalam realisasinya, YPM bekerjasama dan mendapat bantuan yang sangat berarti dari Bakom PKB Daerah dan Organisasi-organisasi kemasyarakatan.

TP4C diperkuat Prof. Dr. Juwono Sudarsono sebagai penasihat, dan pembina yang terdiri dari Soedono Salim dan Susanta Lyman, Sudwikatmono, Prajogo Pangestu, Anthony Salim, Usman Admadjaja. Sementara Ketua Pelaksana dipegang Osbert Lyman dibantu Indradi Kusuma, Frengky Panjaito, FX Suwardi, Prasetyadji, dll.

Dalam partisipasinya, tim ini berhasil menyelesaikan status kewarganegaraan lebih kurang 200.000-an pemohon. Data dari Prof. Djisman Simanjuntak bahkan menyebut YPM berhasil membantu sekiar 230.000 warganegara asing untuk mendapatkan status kewarganegaraan Indonesia.

  1. Keppres Nomor 56 tahun 1996

Menyusul keberhasilan pewarganegaraan 200.000-an keluarga keturunan Tionghoa melalui TP4C, keluarlah Keputusan Presiden (Keppres) No 56 tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam salah satu pasalnya (pasal 4, ayat 2) menegaskan bahwa, bagi warga negara Indonesia yang telah memiliki kartu tanda penduduk, berkartu keluarga, atau berakta kelahiran, pemenuhan kebutuhan persyaratan untuk kepentingan tertentu cukup menggunakan kartu tanda penduduk, kartu keluarga, atau akta kelahiran.

  1. Nomor 12 tahun 2006

Kepedulian dari para tokoh senior YPM sangat konsisten dalam pilar kewarganegaraan, kesetaraan dan anti diskriminasi dan kemudian diteruskan oleh generasi selanjutnya seperti Murdaya Pop, Osbert Lyman, Anthony Salim, Anton Setiawan dan yang lainnya hingga terbit UU Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.

Kepedulian terhadap masalah kewarganegaraan tersebut diteruskan hingga kini melalui Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI). IKI merupakan sebuah organisasi sosial yang peduli terhadap persoalan kewarganegaraan, administrasi kependudukan, dan penghapusan diskriminasi ras dan etnis dengan melakukan pendampingan akta kelahiran, karena akta memuat dokumen negara pertama yang memuat status kewarganegaraan.

  1. Dari YPM Ke IKI

Sejalan dengan disahkannya UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan, didirikanlah Institut Kewarganegaraan Indonesia ( IKI ),  melalui Akta No 2, tanggal 11 Agustus 2006. Kehadiran IKI didedikasikan untuk ikut mengawal dan membantu implementasi UU Kewarganegaraan yang baru disahkan, sekaligus sebagai partisipasi dalam penyebarluasan informasi UU tersebut di tengah masyarakat. Langkah pertama IKI adalah membantu pemerintah melaksanakan sosialisasi UU Kewarganegaraan RI yang baru, baik secara langsung ke berbagai daerah maupun media massa.

Memperhatikan kondisi nyata di lapangan setelah terbitnya UU No. 12 Tahun 2006 akhirnya Menkumham menerbitkan Surat Edaran tentang Pendataan Orang-Orang Keturunan Asing Pemukim yang Tidak Memiliki Dokumen Kewarganegaraan. Tindak lanjutnya adalah diadakan rapat koordinasi yang melibatkan IKI, Dirjen Adminduk, Dirjen Bangda, Direktur Tata Negara, dan Dirjen AHU pada tanggal 3 April 2007, yang berisi penegasan bahwa status kewarganegaraan seseorang cukup dibuktikan melalui akta kelahiran, dengan dasar ketentuan UU Perlindungan Anak dan UU Adminduk.

Mendagri cq. Dirjen Dukcapil kemudian menerbitkan Surat Edaran kepada para Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil di seluruh Indonesia, perihal Data Orang Keturunan Asing yang Tidak Memiliki Dokumen Kewarganegaraan dan Kependudukan. Mendagri juga menerbitkan Surat Edaran tentang Dispensasi Pelayanan Pencatatan Kelahiran dalam Masa Transisi berlakunya UU Adminduk. IKI berusaha mengoptimalkan masa transisi ini untuk menyelesaikan status kewarganegaraan orang-orang keturunan Tionghoa yang belum memiliki dokumen kependudukan dan catatan sipil.

Pada tanggal 21 Februari 2008, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono secara simbolis membagikan SK Penegasan Status Kewarganegaraan berikut dokumen kependudukan berupa Akta Kelahiran, KTP dan KK. Selanjutnya program penegasan berlangsung selama tiga tahun dan berhasil memberikan SK Penegasan bagi sekitar empat ribu orang. Sementara puluhan ribu lainnya mengurus secara langsung akta kelahirannya melalui program Dispensasi Pelayanan Akta Kelahiran dalam masa transisi UU Adminduk. Pembagian secara simbolis adalah tanda dimulainya upaya IKI mengadakan sosialisasi bersama Dirjen Dukcapil dan Dirjen AHU ke berbagai daerah.

  1. UU PENGHAPUSAN DISKRIMINASI

UU  Nomor  40  Tahun  2008  tentang  Penghapusan  Diskriminasi  Ras  dan Etnis disahkan oleh DPR RI, pada tanggal 10 November 2008. Ada 5 (lima) Undang-Undang yang terbit sejak masa reformasi, yaitu UU HAM, UU Perlindungan Anak, UU Kewarganegaraan, UU Administrasi Kependudukan, hingga UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Ini menjadi dasar yang kuat bagi IKI dalam penuntasan persoalan kewarganegaraan tersisa melalui penerbitan akta kelahiran yang dilanjutkan dengan KTP dan KK bagi setiap orang Indonesia.

  1. Judical Review Pasal 32 ayat (1)

Demikian pula ketika pemerintah memberlakukan UU No.24/2013 yang mengubah UU Nomor 23/2006. Aturan baru ini mengubah sistem stelsel aktif dari penduduk ke pemerintah; di mana  asas peristiwa tetap diterapkan namun pelayanan penerbitan akta kelahirannya dapat dilakukan di domisili, di samping dilakukan penghapusan semua biaya pelayanan dan penerbitan dokumen-dokumen kependudukan.

Untuk itu IKI melakukan serangkaian audiensi ke pejabat terkait hingga ke MA, dan bersama LSM serta organisasi lain mulai mewacanakan Judicial Review terhadap Pasal 32 ayat (1). Namun bersamaan itu, diperoleh informasi ada anggota DPRD Jawa Timur yaitu Soleh Hidayat dan Bambang Juwono yang juga akan mengajukan Judicial Review.

Turut mendukung upaya tersebut, IKI memberikan berkas-berkas terkait, dan membantu pembangunan opini melalui media massa. Selain itu IKI juga melanjutkan rangkaian pertemuan ke pejabat dan pihak terkait.

  1. KIPRAH IKI

Pendampingan oleh IKI setelah lahirnya UU Anti Diskriminasi dan UU Adminduk untuk daerah-daerah seperti Singkawang dan sekitaranya, dilakukan lebih intensif dengan mendatangkan Dirjen Dukcapil sampai tiga kali. Pada periode ini berhasil diterbitkan 14.800 akta kelahiran.

Selanjutnya, Mendagri mengeluarkan SE No. 472.11/2945/SJ untuk memperpanjang masa dispensasi akta kelahiran hingga Desember 2010 dalam rangka memenuhi Renstra 2011 yakni “Semua Anak Indonesia Tercatat Kelahirannya”

Pendampingan IKI di daerah kantong seperti Singkawang semakin menunjukkan hasil, di mana sejak Juni 2009 hingga Januari 2010 berhasil diproses 10.881 akta kelahiran terlambat (dispensasi). Hingga sampai akhir tahun 2010, total telah diterbitkan 27.420 akta kelahiran.

Setelah itu, Mendagri kembali memperpanjang masa dispensasi akta kelahiran hingga 31 Desember 2011 melalui SE No. 472.11/5111/SJ tertanggal 28 Desember 2010.  Program Dispensasi Akta Kelahiran yang dikawal IKI, salah satunya di Kota dan Kabupaten Tangerang dengan jumlah orang yang berhasil didampingi sekitar 1.700 orang.

13 Mei 2011 ditandatangani Nota Kesepahaman 8 Menteri tentang Percepatan Kepemilikan Akta Kelahiran dalam rangka Perlindungan Anak. Selanjutnya  terjadi  pertemuan  antara  Disdukcapil  Provinsi  DKI  Jakarta dan LSM termasuk IKI serta ormas terkait Dispensasi Akta Kelahiran, yang membuka jalan dimulainya pelaksanaan program akta kelahiran dispensasi gratis dengan target 80.000 orang.

Berakhirnya masa dispensasi pada tahun 2011, merupakan awal mulai berlakunya seluruh ketentuan UU Adminduk, termasuk ketentuan pengadilan bagi pelaporan kelahiran yang melampaui batas waktu 60 hari. IKI menilai hal ini dapat menjadi penghalang tercapainya tertib adminduk sebagaimana dicita-citakan pemerintah.

Secara bertuturut-turut dan konsisten, IKI terus bergerak. Ketika MK mengesahkan Putusan No. 18/PUU-XI/2013 yang menghapus ketentuan pengadilan bagi pelaporan kelahiran yang melampaui batas waktu 60 hari, pada 30 April 2013, IKI turut mensosialisasikan putusan ini ke jejaring di berbagai daerah.

Tags:

Kirim opini anda disini

Kami menerima tulisan berupa opini masyarakat luas tentang kewarganegaraan, administrasi kependudukan, dan diskriminasi

Klik Disini

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow us on

Jangan ragu untuk menghubungi kami
//
Eddy Setiawan
Peneliti Yayasan IKI
//
Prasetyadji
Peneliti Yayasan IKI
Ada yang bisa kami bantu?