Meskipun berstatus Ibu Kota, tidak semua warga yang tinggal di Jakarta terdata. Kelompok marginal di Pondok Labu, Jakarta Selatan, tidak mempunyai dokumen kependudukan sehingga kehilangan akses pendidikan, kesehatan, hukum, dan bantuan sosial. Sejak 2018, Karni (48) tanpa lelah membantu pengurusan dokumen bagi warga miskin sekitar rumahnya.
Karni duduk di bawah pohon jambu air hijau depan rumah kontrakannya di Jalan Pinang Kalijati, RT 011 RW 009, Pondok Labu, Kamis (17/10/2024) pagi. Matanya menyapu pemandangan sekitar berupa gunungan sampah dari botol plastik dan kardus beserta rumah-rumah kecil reyot dari tripleks. Bau tak sedap tercium dari air berwarna biru kehitaman dari selokan mampat.
Sesekali, anak-anak kecil berlari gembira melintasi sampah-sampah yang berserakan depan rumahnya. Beberapa warga yang lewat menyapanya dengan senyum.
”Jadi, tempat ini disebut Kampung Pemulung Pondok Labu karena banyak pemulungnya. Mereka pendatang dari sejumlah daerah, dari Jawa Timur, Tangerang, Tegal juga ada. Mereka mulung botol dan kardus-kardus,” kata Karni.
Karni sudah tinggal di daerah tersebut selama 33 tahun. Sebelumnya, ia bersama orangtua menetap di kawasan jalan arteri, Cilandak, tetapi tergusur akibat pembangunan jalan. Saat pertama pindah, kampung tersebut masih berupa sawah yang kemudian menjelma sebagai kampung kumuh padat seperti sekarang. Di samping pemulung, warga kebanyakan bekerja sebagai sopir kendaraan material dan satpam.
Karni menjalani harinya sebagai ibu rumah tangga sekaligus kader dasawisma sejak tahun 2005. Tugasnya mencakup pendataan warga, termasuk tentang demografi jumlah penduduk laki-laki dan perempuan, ibu hamil, warga lansia, dan anak balita. Karni bertugas di wilayah 07 di RT 011 yang kini menangani sekitar 60 kepala keluarga.
Tahun 2018, Karni bergabung sebagai sukarelawan Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI). Berdiri pada 2006, lembaga ini mengadvokasi masyarakat yang tidak memiliki akses pelayanan atau tergolong rentan administrasi kependudukan. Sejak itulah, Karni membantu mengurus dokumen kependudukan warga RT 011, seperti kartu keluarga (KK), akta kelahiran, dan kartu tanda penduduk (KTP).
Banyak warga di RT-nya tidak memiliki dokumen tersebut. Ada yang tidak punya biaya pulang kampung mengurus surat pindah atau tidak tahu baca tulis. Beberapa warga bahkan tidak mengurus karena tidak pernah hidup dalam sistem yang membutuhkan dokumen tersebut, seperti untuk menyekolahkan anak.
Selama 2018-2024, Karni sudah membantu mengurus sekitar 100 akta kelahiran serta beberapa KK dan KTP. Belum lama ini dia menolong salah satu warga lansia yang tidak punya KTP selama 30 tahun. Sekarang, Karni tengah mengadvokasi seorang anak perempuan 15 tahun yang hendak mengikuti ujian Paket A, tetapi terkendala lantaran Nomor Induk Kependudukan (NIK)-nya ganda.
“Saya ikut senang saja kalau berhasil membuatkan dokumen dan saya bantu juga tanpa meminta uang ke mereka sepeser pun.”
Karni rela pulang pergi ke kantor-kantor pemerintah setempat selama berminggu-minggu. Ongkos operasionalnya ditanggung IKI, biasanya Rp 500.000 untuk satu ‘proyek’ pengurusan dokumen-dokumen. Namun, dia tidak sungkan beberapa kali merogoh kantong sendiri, misalnya membeli meterai.
Mengapa Karni mau membantu? ”Saya kasihan sama orang enggak ada dokumen. KTP, kan, perlu banget untuk mendaftar BPJS, terus NIK, KK, dan akta untuk anak daftar sekolah, terus KTP untuk ikut pemilu. Mereka juga enggak bisa dapat bantuan pemerintah juga,” tuturnya.
Dapat Manfaat
Banyak kisah suka dan duka yang Karni alami saat menguruskan dokumen. Dia pernah dua kali kehilangan berkas saat mengurus KTP seorang nenek sampai akhirnya berhasil di upaya ketiga. Karni sampai mesti menemani sang nenek ke kantor kelurahan dan kecamatan setempat. Kendalanya bermacam-macam, salah satunya, sang nenek tidak punya surat kematian suami sebab dia hanya menikah siri.
”Saya ikut senang saja kalau berhasil membuatkan dokumen dan saya bantu juga tanpa meminta uang ke mereka sepeser pun. Kalau minta bantuan calo, mereka harus bayar ada satu jutaan rupiah terus harus keluar uang lagi untuk ke kampung mengurus surat pindah,” ucap Karni.
Karni bersyukur bantuannya bisa memberi banyak manfaat kepada warga setempat. ”Mereka jadi bisa mendapat bantuan pemerintah, bikin BPJS, dan anaknya bisa sekolah dengan bantuan Kartu Jakarta Pintar (KJP),” tuturnya.
Namun, rupanya tidak semua warga mau dibantu karena tidak mengerti. Karni menceritakan, ada pasutri dengan dua anak yang tidak mempunyai KK selama puluhan tahun. Istrinya malah masih bergabung ke KK lama sebelum menikah. ”Saya enggak bisa bantu orang yang enggak ada niat membantu diri sendiri,” ucap Karni.
Di luar kesibukan menjadi kader dasawisma dan menguruskan dokumen, Karni meluangkan waktu untuk mengajar PAUD secara sukarela di Rumah Penyuluhan Kreatif (RPK) Pondok Labu selama 3 tahun terakhir. RPK merupakan sebuah komunitas yang peduli pada pendidikan anak-anak kelompok marjinal. RPK ini terletak tidak jauh dari rumahnya.
Karni mengajar setiap hari Rabu dan Kamis dari pukul 10.00-12.00 WIB. Sebanyak 25 anak berusia dari 2-10 tahun belajar di tempat ini. Keberadaan PAUD ini sangat membantu karena akses pendidikan anak pemulung setempat terabaikan. Meski usia mereka beranjak remaja, banyak yang belum bisa baca tulis.
”Di PAUD ini, yang mengajar ada empat orang termasuk saya. Kami biasanya mengajarkan mereka cara membaca iqro, menghafal surat-surat pendek, menulis Arab, membaca, berhitung, mewarnai, menyanyi, dan senam,” tutur ibu empat anak ini.
“Kadang, kami juga mendapat bantuan dari donatur, ya, diterima juga karena rezeki enggak boleh ditolak.”
Karni tidak masalah pelayanannya kepada masyarakat setempat tak mendapatkan bayaran. Saat mengajar PAUD, dia juga beberapa kali menggunakan uang sendiri untuk membeli pulsa agar anak-anak bisa mengakses internet untuk menonton atau senam. Mungkin terkesan sederhana, tetapi cukup menguras kantong bagi ibu rumah tangga yang hanya mempunyai kios kecil ini.
Setidaknya, Karni bersyukur, RPK juga beberapa kali mendapat bantuan. Misalnya Polda Metro Jaya pernah memperbaiki bangunan dan memberi bantuan alat belajar pada 2022. Pada tahun yang sama, mahasiswa Universitas Indonesia menyumbangkan perabot untuk menunjang pembelajaran.
”Kalau rezeki enggak ke ke mana-mana. Kadang, kami juga mendapat bantuan dari donatur, ya, diterima juga karena rezeki enggak boleh ditolak. Anak-anak di sini juga terbantu,” kata Karni.
Karni
- Lahir: Jakarta, 12 Juli 1976
- Pendidikan terakhir: SMEA Negeri 23 Jakarta (sekarang SMKN 41 Jakarta) (1991-1994)
- Suami: Eman
- Anak: 4
Sumber : Kompas.id