Bayi mungil itu bergelayut manja di gendongan ibunya. Sesekali ia menatap ke arah kamera yang diarahkan Gordi, kawan yang merekam perbincangan siang itu. Sang Ibu, seorang gadis berusia 20 an dengan wajah oriental yang khas. Ia baru melangsungkan perkawinannya, sekitar satu setengah tahun yang lalu dan sekarang telah dikaruniai seorang putra. Menarik ketika obrolan tiba pada pertanyaan soal nama.
Nama dengan Satu Suku Kata
Gadis berkulit kuning langsat ini meskipun lahir di era moderen, tapi mewarisi kebiasaan pemberian nama yang sederhana. Namanya khas, terdiri dari satu kata dan secara fonetik akan terdengar seperti nama Tionghoa. “Nama saya Inyoh, iya Inyoh aja, satu kata” ujarnya sambil terkekeh. Kami kemudian berbicara mengenai adanya aturan baru terkait nama dari Kementerian Dalam Negeri, bahwa untuk nama minimal 2 kata. Lalu obrolan bergulir tentang seputar hal tersebut. Beruntungnya menurut Inyoh, sang anak sudah diberi nama dengan 2 suku kata. “Setelah pemberkatan di vihara, saya langsung urus akta perkawinan, juga habis lahiran langsung urus akta kelahiran dan namanya udah 2 Pak.” ungkapnya bersemangat.
Ketika ditanya apakah rekan-rekan segenerasi di kampungnya juga memiliki kesadaran untuk mengurus dokumen kependudukan seperti dirinya. Inyoh tertawa “Nggak semua Pak, tergantung orangnya.” Untuk alasannya ia mengungkapkan bahwa ada keengganan mengurus karena persoalan biaya “Bukan biaya di kantornya ya Pak, tapi biaya transportasi kalau ke Cibinong. Dari sini bisa 3 jam jadi habis waktu dan biaya juga, meski dokumennya gratis.” ungkap Inyoh meluruskan.
Memang jarak antara kampung Inyoh, yakni Simpak dengan pusat layanan di Cibinong berjarak sekitar 70 kilometer, dengan infrastruktur jalan yang tidak layak. Rusaknya jalanan di sepanjang Parung Panjang akibat padatnya truk bermuatan batu, sudah bukan hal baru. Perbincangan kami terjadi setelah yang bersangkutan bersama putranya, menghadiri kegiatan penyerahan dokumen kependudukan oleh IKI dan Dinas Dukcapil Kabupaten Bogor.
Pentingnya Akta Perkawina
Dokumen yang dibagikan siang itu adalah hasil pendampingan Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) bekerjasama dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Bogor. Kali ini adalah pendampingan kedua IKI melalui relawan. Sasarannya adalah penduduk beragama Buddha, Kristen, Katolik, Hindu, dan Konghucu agar memiliki akta perkawinan. Pembagian dokumen akta perkawinan dan turunannya, dilaksanakan di dharmasala Vihara Dharma Mulia, Simpak pada 6 September 2022.
Terbitnya akta perkawinan menandakan seseorang telah tercatat oleh negara sebagai pasangan suami isteri. Dampaknya, beberapa dokumen lain secara otomatis terupdate seperti Kartu Keluarga (KK) dari semula berstatus kawin tidak tercatat menjadi kawin tercatat, Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang semula belum kawin menjadi kawin, akta kelahiran anak, akta pengesahan anak, bahkan ada beberapa yang diberikan KK baru untuk orangtua pasangan, karena sekaligus melakukan pisah KK.
Bapak Suparno, Bapak Agus dari Dinas Dukcapil, Bapak Deni, Bapak Prasetyadji dan Eddy Setiawan dari IKI, secara bergilir menyerahkan dokumen. Penerimanya adalah pasangan suami isteri yang baru saja diterbitkan akta perkawinannya. Dalam sambutannya, Suparno mengajak agar para mempelai setelah menerima dokumen, dan merasakan manfaat dari tertib adminduk, menyebarluaskan kesadaran ini ke saudara dan tetangga sekitar. Agar ke depan masyarakat di Simpak makin tertata administrasi kependudukannya.
Sementara Bapak Deni mewakili IKI mengingatkan tentang pentingnya NIK, sebagai nomor identitas tungal. Bahwa di masa sekarang NIK sangat penting untuk mengakses berbagai hak sebagai warganegara Indonesia. Bahkan untuk vaksin pun kita membutuhkannya, ungakap Deni. Selain itu juga soal daya saing bagi anak cucu keturunan mereka , yang tanpa dokumen kependudukan bisa tertinggal dalam persaingan tersebut. @esa