Warga Cina Benteng atau Cinbeng banyak yang tidak memiliki akta perkawinan. Oleh sebab itu, IKI mengadakan kawin massal warga Cinbeng. Hal ini dilakukan dalam rangka mendukung tertib adminduk di Indonesia. Dalam pandangan pembina dan pengurus IKI, tertib adminduk akan mendukung penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan publik yang baik.
Warganegara Indonesia sebagai penduduk selain memiliki hak juga kewajiban administrasi kependudukan. Diantaranya adalah akta perkawinan dari Dinas Dukcapil bagi yang beragama Hindu, Buddha, Katolik, Kristen dan penghayat, sedangkan bagi umat Islam dicatatkan di Kantor Urusan Agama atau KUA. Indonesia memiliki UU Administrasi Kependudukan baru pada tahun 2006. Sehingga baru sejak itulah upaya merapikan administrasi kependudukan dilakukan. Pelaksananya adalah Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatan Sipil.
Institut Kewarganegaraan Indonesia atau biasa disingkat IKI adalah organisasi masyarakat yang memposisikan diri sebagai mitra pemerintah. Diantaranya untuk mendukung terciptanya tertib administrasi kependudukan bagi semua warganegara Indonesia. Hal ini dianggap vital oleh para pendiri IKI yang terdiri dari anggota pansus dan panja UU Kewarganegaraaan maupun UU Administrasi Kependudukan serta tokoh nasional dari beragam latar belakang.
Dokumen kependudukan seperti akta kelahiran, KTP, dan Kartu Keluarga, merupakan dokumen paling dasar yang harus dimiliki. Baik bagi setiap warganegara yang sekaligus penduduk Indonesia, maupun warganegara asing yang menjadi penduduk. Namun, rentang panjang sebelum 2006 telah menyebabkan timbulnya banyak penduduk yang belum rapi kepemilikan dokumen kependudukannya. Apalagi pada kalangan yang tidak mampu, jauh dari pusat layanan, atau hidup terisolir.
Kawin Massal Cinbeng di Tepi Cisadane
Minggu, 27 Maret 2022 Institut Kewarganegaraan Indonesia bekerjasama dengan Cetya Mi Lek Hud di Sewan Tangerang, mengadakan pemberkatan massal bagi umat Buddha yang telah lama menikah tapi belum memiliki akta perkawinan. Pada masa sebelum terbitnya UU Perkawinan pada tahun 1974 orang-orang Tionghoa biasanya melakukan ritual perkawinan di hadapan altar leluhur, dan para dewa secara tradisional tanpa menghiraukan administrasinya. Hal ini menyebabkan banyak diantara mereka yang sudah terbiasa dengan cara ini, melanjutkan hal serupa pada anak turunannya meski UU Perkawinan sudah disahkan.
Orang-orang sebagaimana tersebut di ataslah yang menjadi peserta pemberkatan massal. Kegiatan ini diadakan di cetya yang terletak di sekitar bantaran kali Cisadane. Sebagian peserta telah berusia lanjut, dengan usia tertua 71 tahun. Sekretaris Umum IKI, Albertus Pratomo menyatakan bahwa pencatatan perkawinan diantaranya bertujuan untuk memberikan kepastian hukum. “Perkawinan yang sah secara agama dan tercatat oleh negara melalui dukcapil, akan memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi perempuan dan anak-anak.” ujarnya. @esa