loader image
021- 2510670
sekretariat@yayasan-iki.or.id

Buron “Stateless” Tanggung Jawab Siapa?

Buron “Stateless” Tanggung Jawab Siapa?

151 views
Penetapan Riza Chalid dan Jurist Tan sebagai buron ternyata dibarengi pernyataan bahwa mereka berstatus stateless.
Riza Chalid dan Jurist Tan Tersangka Korupsi yang saat ini buron dan dinyatakan stateless
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Bayangkan sebuah negara yang sedang berupaya mengejar keadilan: dua tersangka korupsi diduga melarikan diri ke luar negeri, paspor mereka dicabut — langkah administratif yang lumrah. Namun kemudian pejabat negara menyatakan bahwa status keduanya sebagai buron dan sekarang tanpa kewarganegaraan alias stateless. Terlihat tegas, bahkan heroik di mata publik. Namun, dalam kacamata hukum internasional dan strategi penegakan, itu bukanlah kekuatan namun rawan menjadi jebakan yang berpotensi menggagalkan penegakan hukum itu sendiri.

Paspor Bukanlah Kewarganegaraan

Di tingkat awam, paspor sering dipersepsikan sebagai “bukti” kewarganegaraan — dokumen yang menempel pada identitas seseorang. Namun dalam hukum, kewarganegaraan adalah status hukum yang lebih substansial: ia lahir dari ketentuan dalam konstitusi hingga undang-undang. Dicatatkan pada akta kelahiran, bisa diperoleh melalui naturalisasi, atau garis keturunan, dan kehilangannya pun diatur secara formal. Paspor itu sendiri hanyalah dokumen perjalanan yang dapat dicabut atau tidak diperpanjang; pencabutan paspor tidak sama dengan penghilangan status Warga Negara Republik Indonesia (WNI).

Para pejabat publik, apalagi aparat penegak hukum seharusnya lebih bijak ketika memberikan pernyataan di hadapan publik. Bagaimana pun, masyarakat akan terpapar oleh pernyataan-pernyataan tersebut sekalipun kurang tepat dan berpotensi menyesatkan pemikiran publik.

Undang‑Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI, merinci penyebab hilangnya kewarganegaraan seorang WNI. Secara eksplisit, pencabutan paspor tidak otomatis tercantum sebagai sebab hilangnya status WNI. Maka ketika aparat menyatakan seseorang stateless hanya karena paspornya dicabut, klaim itu lemah dari sisi yuridis dan dapat menimbulkan implikasi serius di arena internasional.

9 Penyebab Kehilangan Kewarganegaraan

Menurut UU Kewarganegaraan 2006 Pasal 23, Warga negara Republik Indonesia kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan:

  1. Memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri.
  2. Tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu.
  3. Dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas permohonannya sendiri, dengan syarat:
    Telah berusia 18 tahun atau sudah kawin; Bertempat tinggal di luar negeri dan; Dengan dinyatakan hilang kewarganegaraan RI tidak menjadi tanpa kewarganegaraan (stateless).
  4. Masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin lebih dulu dari Presiden.
  5. Secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas tersebut di Indonesia hanya dapat dijabat oleh WNI menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
  6. Secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut.
  7. Tidak diwajibkan, tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing.
  8. Mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya.
  9. Tinggal di luar negeri selama lima tahun terus-menerus, bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah, dan dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi WNI sebelum jangka waktu 5 tahun itu berakhir—dan setiap 5 tahun berikutnya tidak mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi WNI kepada Perwakilan RI, sepanjang yang bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.

Jadi sangat jelas dan tegas bahwa UU Kewarganegaraan Indonesia justru memberikan kepastian perlindungan terhadap status kewarganegaraan warganya. Bahkan ketika dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh presiden pun masih harus dipastikan bahwa hal tersebut tidak menyebabkan yang bersangkutan stateless.

Paradok Buron Stateless 

Logika yang tampak sedang dibangun adalah dengan melakukan pencabutan paspor, kedua buron akan kehilangan ruang geraknya. Namun, dalam praktik, ini bisa  menghasilkan paradoks kontraproduktif. Pertama ekstradisi dan yurisdiksi personal menuntut kepastian status. Negara yang menjadi tempat persembunyian jadi tidak punya kewajiban memulangkan orang yang bukan warga negara dari negara manapun. Menyatakan mereka stateless dapat melemahkan klaim Indonesia atas dasar kewarganegaraan yang bisa menghambat proses diplomatik atau prosedur konsuler.

Red notice Interpol dan mekanisme kerja sama lintas negara sensitif terhadap status hukum. Instrumen‑instrumen internasional lebih efektif bila ada kepastian bahwa subjek adalah warga negara pemohon; tanpa itu, permintaan dapat diabaikan atau diperlakukan secara berbeda. Tentu kondisi ini tidak menguntungkan bagi upaya Indonesia untuk menangkap kedua tersangka.

Pernyataan publik yang tidak akurat dapat menurunkan kredibilitas penegak hukum itu sendiri. Di meja perundingan diplomatik atau pengadilan asing, inkonsistensi terminologi dan pengertian hukum dapat merusak kepercayaan dan menambah hambatan prosedural. Ironisnya langkah yang dimaksudkan untuk mempersempit ruang gerak buronan malah bisa memberi mereka ‘zona abu‑abu’ untuk bersembunyi. Oleh karena itu, para pejabat publik seharusnya menghindari pernyataan yang mengaburkan perbedaan antara dokumen administratif (paspor) dan status hukum (kewarganegaraan). Komunikasi publik sebaiknya dikalibrasi agar informasi yang disampaikan tepat dan mengandung edukasi bagi masyarakat luas.

Perbedaan antara retorika publik dan akurasi hukum bukan sekadar persoalan semantik. Dalam penegakan hukum lintas batas, presisi hukum adalah modal utama. Negara‑negara tujuan buronan — terutama yurisdiksi yang menghormati prosedur dan prinsip hukum internasional — akan menilai permintaan ekstradisi berdasarkan konsistensi hukum negara pengaju. Jika negara pengaju sendiri tidak konsisten dalam mendefinisikan status kewargaannya, daya tawar dan legitimasi permintaan akan menipis.

Selain itu, kebijakan yang tampak emosional atau simbolis seperti “mencabut” kewarganegaraan, berisiko memicu litigasi baru, menimbulkan isu hak asasi, dan memperpanjang proses. Sehingga yang menjadi korban justru kepentingan penegakan keadilan dalam perkara pidana yang mendasarinya.

Menegakkan Keadilan, Bukan Mencabut Kewarganegaraan

Pendekatan yang lebih efektif tidak memerlukan dramatisasi status, melainkan kombinasi instrumen hukum dan diplomatik yang terukur. Status kewarganegaraan keduanya secara yuridis tidak serta merta hilang saat paspor dicabut. Pencabutan paspor adalah alat administratif pembatas mobilitas keduanya sebagai WNI. Dengan posisi keduanya adalah WNI, maka saluran diplomatik, mekanisme konsuler, dan dasar hukum ekstradisi tetap bisa ditempuh.

Menyatakan seseorang buron sekaligus stateless mungkin terasa sebagai hukuman simbolik — seolah negara menghapus jejak kewarganegaraan mereka. Dalam praktik, itu sering kali merupakan sabotase terhadap upaya penegakan hukum yang lebih besar: pemulangan tersangka untuk menghadapi pengadilan. Negara yang efektif bukanlah negara yang paling keras retorikanya, melainkan yang paling cerdas menggunakan instrumen hukum dan diplomatik yang tersedia.

Jurist Tan dan Riza Chalid — seperti siapa pun yang diduga melakukan kejahatan — berhak atas proses hukum yang patut. Jalan untuk menjemput mereka untuk diadili, bukanlah dengan “melenyapkan” mereka dari ranah hukum dengan menyatakan mereka bukan Warga Negara Indonesia.@esa

Tags:

Kirim opini anda disini

Kami menerima tulisan berupa opini masyarakat luas tentang kewarganegaraan, administrasi kependudukan, dan diskriminasi

Klik Disini

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow us on

Jangan ragu untuk menghubungi kami
//
Eddy Setiawan
Peneliti Yayasan IKI
//
Prasetyadji
Peneliti Yayasan IKI
Ada yang bisa kami bantu?