Mengapa Indonesia perlu regulasi kewarganegaraan yang adaptif menghadapi era global dan diaspora?
Pendahuluan
Di tengah dinamika global dan meningkatnya mobilitas warga negara, pertanyaan tentang fleksibilitas status kewarganegaraan menjadi semakin relevan. Indonesia, dengan jutaan diaspora di luar negeri, menghadapi tantangan besar untuk menyesuaikan hukum kewarganegaraannya. Apakah sistem saat ini sudah cukup? Ataukah perlu pembaruan?
Hukum yang Dinamis: Pandangan Pakar
Dalam wawancara dengan Dr. Ahmad Ahsin Thohari, S.H., M.H., pakar Hukum Tata Negara dari UPN Veteran Jakarta, disampaikan bahwa hukum kewarganegaraan tidak bisa dianggap sebagai konsep yang statis. Justru, ia merupakan cerminan dari kebutuhan nasional yang terus berkembang.
“Kalau hari-hari ini kita belum memungkinkan untuk menerapkan dwi kewarganegaraan tanpa batas, bisa jadi di masa depan, kita justru harus menerapkannya,” ungkapnya.
Regulasi Harus Berdasar Kebutuhan Nasional
Dr. Ahsin menekankan pentingnya regulasi yang tidak hanya tegas, tapi juga relevan dengan konteks zaman. Hukum kewarganegaraan tidak boleh dibuat berdasarkan asumsi masa lalu, tapi harus mencerminkan kondisi nyata, termasuk realitas diaspora dan tuntutan global.
Mapping Masalah dan Solusi
Salah satu langkah penting adalah melakukan mapping atas tantangan dan kebutuhan di bidang kewarganegaraan. Mulai dari status anak hasil perkawinan campuran, mantan WNI yang masih ingin berkontribusi, hingga pengakuan terhadap identitas ganda di era digital dan mobilitas tinggi.
“Tantangan-tantangan ini perlu diselesaikan melalui regulasi yang kuat dan kontekstual,” tambahnya.
Kesimpulan
Indonesia butuh hukum kewarganegaraan yang responsif, bukan defensif. Saat negara-negara lain membuka peluang bagi diaspora mereka, Indonesia tidak boleh ketinggalan. Dengan pemetaan yang baik dan keberanian politik, reformasi hukum kewarganegaraan bukan hanya mungkin—tapi harus dilakukan.