loader image
021- 2510670
sekretariat@yayasan-iki.or.id

Konvensi Menentang Diskriminasi dalam Pendidikan 1960

Konvensi Menentang Diskriminasi dalam Pendidikan 1960

6 views
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Menentang Diskriminasi dalam Pendidikan UNESCO 1960. Tepatnya 7 tahun setelah terbitnya konvensi, yakni pada 1967.
65 tahun Konvensi Menentang Diskriminasi dalam Pendidikan 1960 (Foto: Adaptasi dari SIGNIS World)
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Konvensi menentang diskriminasi dalam pendidikan atau Convention Against Discrimination in Education (1960). Merupakan instrumen HAM internasional pertama yang secara khusus menetapkan standar global mengenai hak atas pendidikan tanpa diskriminasi. Diadopsi oleh Konferensi Umum UNESCO pada 14 Desember 1960 dan mulai berlaku pada 22 Mei 1962. Konvensi ini menjadi landasan penting bagi negara-negara. Untuk memastikan kesetaraan dalam akses, kualitas, dan perlakuan di seluruh sistem pendidikan yang menentang diskriminasi.

Indonesia telah menjadi Negara Pihak sejak 10 Januari 1967, melalui proses acceptance sebagaimana dicatat UNESCO. Keikutsertaan Indonesia bersifat mengikat dan menempatkan kewajiban negara untuk menghapus segala bentuk diskriminasi. Baik dalam pendidikan berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, asal-usul sosial, kondisi ekonomi, maupun kelahiran.

Isi Pokok Konvensi: Dua Pilar Utama

Konvensi Menentang Diskriminasi 1960 berdiri di atas dua pilar, yaitu: larangan diskriminasi dan tindakan afirmatif negara.

1. Definisi dan Larangan Diskriminasi

Pasal 1 mendefinisikan diskriminasi sebagai setiap pembedaan atau pembatasan yang menghambat kesetaraan perlakuan dalam pendidikan. Bentuk-bentuk yang dilarang meliputi: Menghalangi akses seseorang atau kelompok ke jenis atau jenjang pendidikan tertentu; Membatasi kelompok tertentu pada pendidikan dengan kualitas inferior; Memaksakan sistem pendidikan terpisah tanpa alasan yang sah; Memberikan kondisi belajar yang merendahkan martabat manusia. Konvensi menegaskan bahwa istilah “pendidikan” mencakup seluruh jenjang, jenis, kualitas, serta kondisi penyelenggaraan pendidikan.

2. Tindakan Negara untuk Mewujudkan Kesetaraan

Melalui Pasal 3 dan 4, negara berkewajiban: Mencabut regulasi atau praktik administratif yang diskriminatif;

Menjamin tidak ada diskriminasi dalam penerimaan peserta didik; Memastikan pemberian beasiswa, bantuan publik, serta izin studi luar negeri tidak dibedakan kecuali berdasarkan kebutuhan atau prestasi; Menyelenggarakan pendidikan dasar yang wajib dan gratis; Membuka akses setara ke pendidikan menengah dan tinggi; Meningkatkan kesetaraan standar pendidikan di seluruh lembaga publik; Memberikan pelatihan guru secara nondiskriminatif.

Konvensi juga menekankan kebebasan orang tua untuk memilih sekolah sesuai keyakinan moral atau agama mereka, sepanjang memenuhi standar minimal yang ditetapkan negara.

Pasal 5 memberikan perlindungan penting kepada kelompok minoritas nasional. Negara harus mengakui hak komunitas untuk: Mengelola kegiatan pendidikan sendiri, Mempertahankan sekolah minoritas, Menggunakan atau mengajarkan bahasa mereka. Namun hak tersebut tidak boleh menghambat pemahaman budaya dan bahasa nasional, merusak kedaulatan, atau menurunkan standar pendidikan.

Indonesia dan Tantangan Implementasi

Dengan menjadi Negara Pihak pada 1967, Indonesia berkewajiban menyelaraskan kebijakan pendidikan nasional dengan standar UNESCO. Sejak itu beberapa capaian terlihat: wajib belajar, peningkatan akses pendidikan dasar, penghapusan segregasi berbasis etnis, serta perluasan afirmasi bagi kelompok miskin dan daerah tertinggal.

Namun tantangan tetap ada: Diskriminasi terhadap identitas agama minoritas, dan kebijakan seragam yang membatasi identitas budaya. Selain itu juga keterbatasan akses pendidikan bagi anak tanpa dokumen kependudukan dan pencatatan sipil. Hingga ketimpangan kualitas antara wilayah maju dan terluar, masih adanya intoleransi di lingkungan sekolah. Konvensi 1960 memberikan landasan normatif untuk menilai dan memperbaiki situasi ini.

Momentum Baru Indonesia: Kementerian Hak Asasi Manusia

Sejak 2024, Indonesia memiliki Kementerian Hak Asasi Manusia (KemenHAM) sebagai entitas tersendiri. Pemisahan ini penting karena agenda HAM kini tidak berada di bawah kementerian hukum, tetapi berdiri sebagai prioritas kebijakan nasional. Kehadirannya membawa tiga implikasi strategis bagi implementasi Konvensi Menentang Diskriminasi dalam Pendidikan dari UNESCO 1960:

1. Integrasi Isu Diskriminasi Pendidikan sebagai Isu HAM Inti

Diskriminasi dalam sekolah—mulai dari akses, identitas keagamaan, bahasa, hingga dokumen kependudukan—dapat dinaikkan menjadi isu HAM struktural. Hal ini memungkinkan intervensi lintas kementerian.

2. Pengawasan dan Pemantauan Lebih Sistematis

Pasal 7 konvensi mengharuskan negara melaporkan perkembangan dan hambatan implementasi. Dengan kementerian khusus, pelaporan dan pemantauan dapat menjadi lebih terstruktur dan sesuai standar internasional.

3. Penguatan Afirmasi bagi Kelompok Rentan

Anak penyandang disabilitas, masyarakat adat, kelompok minoritas agama, anak TKI, dan anak tanpa akta lahir memerlukan kebijakan afirmatif yang kuat—sesuai mandat Pasal 3–4. KemenHAM dapat menjadi motor advokasi antar-kementerian.

Arah Baru Anti-Diskriminasi Pendidikan di Indonesia

Konvensi Menentang Diskriminasi dalam Pendidikan ini, bukan sekadar dokumen hukum internasional; ia adalah peta jalan untuk mewujudkan pendidikan yang benar-benar inklusif. Dengan status Indonesia sebagai Negara Pihak sejak 1967 dan lahirnya Kementerian HAM sebagai institusi yang berdiri sendiri, ada ruang kebijakan baru untuk memastikan bahwa prinsip kesetaraan dan nondiskriminasi benar-benar terwujud di sekolah-sekolah Indonesia.

Dalam konteks Indonesia yang majemuk, implementasi konvensi ini tidak hanya menjadi kewajiban hukum, tetapi juga fondasi etis untuk memastikan bahwa setiap anak—apa pun latar belakangnya—mendapatkan hak atas pendidikan bermutu tanpa pengecualian.@esa

Baca isi konvensi selengkapnya: Ohcr.org

Tags:

Kirim opini anda disini

Kami menerima tulisan berupa opini masyarakat luas tentang kewarganegaraan, administrasi kependudukan, dan diskriminasi

Klik Disini

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow us on

Jangan ragu untuk menghubungi kami
//
Eddy Setiawan
Peneliti Yayasan IKI
//
Prasetyadji
Peneliti Yayasan IKI
Ada yang bisa kami bantu?