loader image
021- 2510670
sekretariat@yayasan-iki.or.id

Konsekuensi Statelessness pada Anak

Konsekuensi Statelessness pada Anak

1 views
Statelessness pada anak penting untuk dicegah karena konsekuensinya sangat luas terhadap kehidupannya.
Opening Doors for Children Prevention of Childhood Statelessness 4
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

“I question my very existence, my very essence of being human.
We don’t want to live or die as ghosts.” 1

Kutipan ini berasal dari kesaksian seorang anak tanpa kewarganegaraan yang menggambarkan kehilangan paling mendasar dari manusia: pengakuan atas keberadaan dan kemanusiaannya. Dalam buku Opening Doors for Children: Prevention of Childhood Statelessness, Bab IV berjudul “Consequences of Childhood Statelessness.” Bab mengenai konsekuensi statelessness pada anak ini menjelaskan bahwa statelessness bukan sekadar masalah hukum. Akan tetapi merupakan krisis kemanusiaan yang mendalam.

Anak-anak tanpa kewarganegaraan hidup tanpa identitas hukum, tanpa perlindungan negara, dan tanpa masa depan yang pasti. Dampaknya menjalar ke berbagai aspek kehidupan — ekonomi, sosial, budaya, hingga psikologis — dan dirasakan bukan hanya oleh individu, tetapi juga keluarga serta masyarakat secara keseluruhan.

Konsekuensi Kondisi Tak Berkewarganegaraan pada Anak

Anak-anak tanpa kewarganegaraan hidup tanpa identitas hukum, tanpa perlindungan negara, dan tanpa masa depan yang pasti. Dampaknya menjalar ke berbagai aspek kehidupan — ekonomi, sosial, budaya, hingga psikologis — dan dirasakan bukan hanya oleh individu, tetapi juga keluarga serta masyarakat secara keseluruhan.

Tanpa akta kelahiran atau dokumen resmi, mereka tak bisa mendaftar di sekolah, mengikuti ujian nasional, apalagi melanjutkan ke perguruan tinggi. Pintu pendidikan tertutup rapat, dan bersamanya, semua peluang untuk pekerjaan layak, kemandirian ekonomi, dan partisipasi sosial. Yang lebih tragis, ketiadaan dokumen ini kerap menurun lintas generasi: anak-anak yang lahir dari orang tua tanpa status hukum cenderung mengulangi nasib yang sama—terlahir tanpa diakui, tumbuh tanpa perlindungan, dan mati tanpa jejak.

Kemiskinan Struktural hingga Dampak Psikologis

Kondisi ini memperparah kemiskinan struktural. Keluarga stateless tidak bisa mengakses bantuan sosial, memiliki properti, membuka rekening bank, atau bekerja secara legal. Banyak yang terpaksa menerima pekerjaan informal dengan upah rendah, jam kerja panjang, dan tanpa jaminan keselamatan. Anak-anak pun sering dipaksa bekerja sejak dini—di pabrik, ladang, atau bahkan jalanan—menjadi sasaran empuk eksploitasi, perdagangan manusia, dan kekerasan seksual. Tanpa suara hukum, mereka tak punya tempat mengadu.

Akses terhadap layanan kesehatan pun menjadi barang mewah. Fasilitas publik sering menolak memberikan imunisasi, perawatan ibu hamil, atau penanganan darurat hanya karena pasien tak bisa menunjukkan identitas. Akibatnya, penyakit yang seharusnya bisa dicegah justru menyebar, dan kematian anak—yang sebenarnya dapat dihindari—menjadi hal yang biasa.

Di balik semua ini, luka terdalam justru bersifat psikologis. Anak-anak stateless tumbuh dengan rasa malu, keraguan diri, dan pertanyaan eksistensial yang menghantui: Apakah aku benar-benar ada? Mereka dieksklusi dari ruang publik, dilarang bermain di taman kota, dijauhi teman sebaya, dan kerap diperlakukan sebagai “orang asing” di tanah kelahirannya sendiri. Dalam banyak kasus, trauma ini berlangsung seumur hidup, mengikis rasa percaya diri dan harapan akan masa depan.

Perempuan dan anak perempuan menghadapi beban ganda. Dalam masyarakat yang patriarkal, ketidakpastian status hukum sering kali direspons dengan memaksa mereka menikah muda—seolah pernikahan adalah satu-satunya jalan keluar. Padahal, praktik ini justru memperdalam ketimpangan gender, memutus pendidikan, dan menutup akses terhadap kesehatan reproduksi serta kemandirian ekonomi.

Lebih jauh, statelessness merenggut hak paling mendasar dalam masa kanak-kanak: rasa aman. Banyak anak hidup dalam ketakutan akan pengusiran, penahanan sewenang-wenang, atau kekerasan aparat. Keluarga mereka bisa ditangkap berulang kali hanya karena tak mampu membuktikan identitas—meski telah tinggal di suatu wilayah selama puluhan tahun. Dalam konteks konflik etnis atau politik, statelessness bahkan menjadi alat pengucilan sistematis yang berujung pada kekerasan negara.

Himbauan Pencegahan Statelessness

Namun, semua ini bukan takdir. Seperti ditegaskan oleh UNHCR, OSCE, dan berbagai lembaga hak asasi, statelessness pada anak-anak sepenuhnya dapat dicegah. Kuncinya sederhana namun revolusioner: pastikan setiap kelahiran didaftarkan, hapus diskriminasi dalam hukum kewarganegaraan, dan jamin hak setiap anak untuk diakui di hadapan hukum—tanpa memandang latar belakang orang tua, etnis, agama, atau status migrasi.

Sebab pada akhirnya, seperti kata anak yang bersaksi di awal: “Kami tidak ingin hidup atau mati sebagai hantu.” Setiap anak berhak atas nama, identitas, dan pengakuan bahwa keberadaannya—sekecil apa pun di mata negara—berarti di mata kemanusiaan.

Poin Kunci Bab IV

Statelessness menyebabkan kemiskinan ekstrem dan ketidakamanan sosial.

Akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan publik tertutup bagi anak tanpa identitas.

Diskriminasi dan pengucilan sosial menimbulkan luka psikologis yang mendalam.

Eksploitasi, perdagangan manusia, dan kekerasan sering menimpa anak-anak stateless.

Anak perempuan menghadapi risiko perkawinan dini dan kekerasan berbasis gender.

Keluarga tanpa kewarganegaraan tidak dapat menikah, memiliki properti, atau bekerja secara sah.

Pengungsian, kehilangan budaya, dan trauma sosial memperkuat marginalisasi.

Statelessness dapat memicu konflik sosial dan ketidakstabilan politik.

Semua konsekuensi statelessness pada anak ini bisa dicegah melalui kebijakan kewarganegaraan inklusif dan perlindungan hak anak.

Catatan kaki:

  1. Kerwin, D, Alulema, D, Nicholson, M & Warren, R, ‘Statelessness in the United States: A Study to Estimate and Profile the US Stateless Population’, Journal on Migration and Human Security, Vol. 8, No. 2, Juni, 2020

 

Tags:

Kirim opini anda disini

Kami menerima tulisan berupa opini masyarakat luas tentang kewarganegaraan, administrasi kependudukan, dan diskriminasi

Klik Disini

Related Post

Sejarah Pencatatan Sipil

Pencatatan sipil merupakan sistem yang digunakan oleh pemerintah untuk merekam peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan penduduk, seperti kelahiran, perkawinan, dan kematian.

Baca Selengkapnya »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow us on

Jangan ragu untuk menghubungi kami
//
Eddy Setiawan
Peneliti Yayasan IKI
//
Prasetyadji
Peneliti Yayasan IKI
Ada yang bisa kami bantu?