Asap rokok mengebul tipis, sementara kopi dan gorengan terhidang di meja kayu di bagian depan rumah Pak Wiwi, demikian pria 53 tahun tersebut disapa. Ia adalah keturunan kedelapan atau kesembilan dari para leluhurnya yang sekitar delapan ratus tahun lalu telah mulai bermukim di wilayah yang sekarang ditempati. Profesinya pun tidak banyak bergeser dari para leluhurnya, yaitu petani bahkan Ko Wiwi juga menjabat sebagai ketua kelompok tani di daerahnya.
Peneliti IKI, Prasetyadji dan Eddy Setiawan pada Senin, 29 November 2021 bersama Bu Ice selaku Relawan melakukan koordinasi dan survei ke Vihara Dharma Mulia yang terletak di Kampung Simpag Kelurahan Jagabaya di wilayah Parung Panjang Kabupaten Bogor untuk persiapan kegiatan kawin massal bagi umat sekitar.
Perbincangan pun melebar, tidak hanya soal persiapan kegiatan yang akan diadakan tapi juga menyangkut pertanian, bidang yang sudah digeluti Pak Wiwi dan sebagian besar warga Tionghoa di Parung Panjang. Pekerjaan turun temurun yang mereka lakukan dan jiwai, sejak wilayah tersebut masih dikuasai kerajaan-kerajaan di masa lalu, ratusan tahun sebelum kata Indonesia diciptakan. Namun, ada yang menarik dari perbincangan kami, yaitu soal petani dan kewarganegaraan Indonesia.
Jamaknya perbincangan mengenai kewarganegaraan di Indonesia lebih dititikberatkan pada persoalan status hukum seorang individu, padahal itu barulah satu aspek yaitu aspek yuridis. Kewarganegaraan dari aspek sosio-politik adalah sesuatu yang lebih dari sekedar status hukum, melainkan soal kesadaran dan aksi dari seorang warganegara. Sesungguhnya secara teoritis aspek kewarganegaraan selain partisipasi juga mencakup rekognisi dan redistribusi, jadi sekali lagi tidak semata-mata aspek yuridis formal.
Para ahli juga menyatakan bahwa sesungguhnya kewarganegaraan adalah sesuatu yang tidak perlu dibuktikan, jadi seorang warga yang belum memiliki bukti formal sebagai warganegara justru menjadi tugas negara untuk mendata, merekam, dan memberikan dokumen terkait sehingga yang bersangkutan secara yuridis memenuhi syarat sebagai seorang warganegara. Namun di luar itu, dalam hal kesadaran kewarganegaraan dan partisipasi Pak Wiwi sebagai petani mengungkapkan bahwa ia merasa punya tanggung jawab untuk menjaga lahannya, agar tetap dapat digunakan oleh anak, cucu dan keturunannya kelak. “Penggunaan pupuk kimia, lama-lama membuat lahan keras dan susah diolah, jadi saya sudah mulai jadi petani organik Pak, sudah tidak pakai urea tapi diganti eco enzyme” ungkap penggemar olahraga bulu tangkis tersebut.
Wiwi meyakini bahwa tanggung jawabnya sebagai petani diantaranya adalah menjaga lahan pertaniannya bagi kepentingan generasi penerus, dengan cara mengarusutamakan penggunaan pupuk dan pestisida alami. “Saya bertekad jadi pelopor, biar nanti teman-teman petani yang sekarang masih bergantung pupuk pabrik bisa beralih, karena jelas lebih hemat kalau tidak tergantung pupuk kimia” jelasnya.
Inilah wujud kewarganegaraan tani, kesadaran kewarganegaraan dari seorang petani yang tidak semata-mata memikirkan kepentingan panen jangka pendek tapi juga pengelolaan tanah secara berkelanjutan bagi kepentingan jangka panjang. “Alam sudah kasih kita berkat, masak kita tidak tahu terimakasih?” tutupnya sambil menatap hamparan sawah yang membentang di seberang tempat kami berbincang santai sore itu. @esa