Hubungan Indonesia dengan Tiongkok pasca-kemerdekaan bukan hanya soal diplomasi, tapi juga soal identitas dan kewarganegaraan. Perbedaan asas kewarganegaraan—ius soli di Indonesia dan ius sanguinis di Tiongkok—membuat ribuan etnis Tionghoa di Indonesia. Terjebak dalam dilema: apakah mereka warga negara Indonesia, warga negara Tiongkok, atau keduanya sekaligus? Untuk menjawab persoalan itu. lahirlah Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan tahun 1955 yang sempat menjadi tonggak penting dalam sejarah hukum kewarganegaraan Indonesia. Namun, perjalanan politik dan dinamika internasional akhirnya membawa perjanjian ini ke ujung jalan.
Pembukaan Hubungan Diplomatik RI–RRT (1950)
Bagaimana Pemerintah Republik Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Pemerintah RRT, dan penyelesaian status kewarganegaraan warga negara RRT di Indonesia ?
Jawab :
Pada tahun 1950, Pemerintah RI membuka hubungan diplomatik dengan RRT. Lima tahun setelah dibuka hubungan diplomatik tersebut, RI dan RRC mulai membicarakan masalah dwi kewarganegaraan orang-orang Tionghoa di Indonesia. Karena RRT menganut asas ius sanguinis, sedangkan RI menganut asas ius soli. Maka ada orang-orang yang diakui secara hubungan darah sebagai warga negara RRT. Dari sisi tanah kelahiran sebagai warga negara RI. Perlu diingat, pembahasan antara RI dan RRT mengenai kedua prinsip ini terjadi pada masa RI terikat perjanjian bilateral dengan Belanda. Melalui KMB, yang kemudian dibatalkan pada tahun 1956.
Diplomasi Awal: Arnold Mononutu
Usaha membereskan soal status kewarganegaraan ganda ini sudah dirintis sejak tahun 1954. Oleh dutabesar RI di Tiongkok Arnold Mononutu waktu itu. Pembicaraan-pembicaraan kemudian dimatangkan dalam draft naskah perjanjian yang didiskusikan di Beijing.
Tanggal 22 April 1955 di tengah-tengah berlangsungnya Konperensi Asia-Afrika. Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan ditandatangani oleh kedua menteri luar negeri. Mr. Sunaryo dari pihak Republik Indonesia dan Chou En-Lai dari Republik Rakyat Tiongkok. Perjanjian ini memberlakukan sistem aktif bagi warga Tionghoa yang sudah memegang kewarganegaraan Indonesia. Yaitu mereka yang lahir di Indonesia sebelum 27 Desember 1949 yang sebelumnya tidak menolak kewarganegaraan Indonesia. Kepada mereka diberi jangka waktu dua-tahun untuk memilih. Dimulai sejak adanya pertukaran ratifikasi perjanjian dwi-kewarganegaraan tersebut dengan memberi pernyataan di pengadilan.
Karena lemahnya administrasi birokrasi ketika itu, maka ada sejumlah tindakan pemerintah daerah. Untuk menghentikan transaksi jual-beli tanah yang melibatkan warga Tionghoa dengan alasan bahwa Tionghoa memiliki kewarganegaraan ganda. Karenanya dianggap orang asing. Belum lagi kekhawatiran penduduk Tionghoa tentang apakah mereka akan boleh dan dapat menggunakan hak pilihnya. Pada Pemilihan Umum yang sebentar lagi akan diselenggarakan pada 29 September 1955.
Kekhawatiran ini segera diatasi dengan pertukaran nota antara kedua Perdana Menteri RI dan RRT pada 3 Juni 1955. Bagi mereka yang sudah memutuskan untuk memilih salah satu kewarganegaraan, tidak diharuskan untuk memilih lagi. Sedangkan dalam masa waktu dua tahun menurut perjanjian dwi-kewarganegaraan tersebut. Status kewarganegaraan mereka tidak berubah sampai yang bersangkutan memutuskan untuk menjatuhkan pilihan. Dengan begitu mereka yang sudah menyatakan diri warganegara Indonesia, dapat dan berhak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 1955. Karena perjanjian Dwi Kewarganegaraan baru dilaksanakan pada tahun 1960-1962, maka pada Pemilu 1955 bulan September.
Warga Tionghoa yang merasa sudah Warga Negara Indonesia pada umumnya mereka telah menggunakan hak pilihnya. Seperti yang disebut pada Pertukaran Nota tanggal 3 Juni 1955 pada butir 2. Mengenai materi butir 2 tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1959 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 1961. Diantaranya adalah pegawai negeri, veteran, petani dan orang yang pernah mengikuti pemilihan umum dan sebagainya.
Di dalam perjanjian dwi kewarganegaraan ini yaitu dalam pasal XI pemerintah RI maupun RRT. Menyetujui dan kepada warganegaranya untuk mengindahkan hukum. Serta adat istiadat negara di mana mereka berdiam dan tidak turut kegiatan-kegiatan politik dari negara tersebut.
Konferensi Asia-Afrika & Perjanjian 1955
Atas dasar saling menghormati seperti dapat dilihat dari isi Perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah RRT, pasal XI pada tanggal 22 April 1955. Dan dari pertukaran nota antara Pemerintah RI dan RRT pada tanggal 3 Juni 1955 antara lain pada butir 2 tercantum sebagai berikut: ”diantara mereka yang serempak berkewarganegaraan RI dan RRT terdapat suatu golongan yang dapat dianggap mempunyai hanya satu kewarganegaraan dan tidak mempunyai dwi-kewarganegaraan karena menurut pendapat Pemerintah RI, kedudukan sosial dan politik mereka membuktikan bahwa mereka dengan sendirinya (secara implisit) telah melepaskan kewarganegaraan RRT.”
Dalam kaitan dengan perjanjian dwi kewarganegaraan ini, permasalahan bagi etnis Tionghoa adalah status kewarganegaraan mereka yang terombang-ambing. Artinya, di saat Indonesia masih terikat perjanjian dengan Kerajaan Belanda terkait perjanjian KMB, pemerintah RI juga mengikatkan diri dengan pemerintah RRT.
Kekhawatiran di Lapangan
Yang menjadi permasalahan dan akhirnya membingungkan masyarakat Tionghoa ketika itu adalah mereka yang belum lama memilih menjadi warga negara Indonesia dalam kurun waktu 1949 sampai dengan 1951, apakah masih juga harus memilih kembali dalam perjanjian dwi kewarganegaraan RI-RRT. Tidak adanya sosialisasi terlebih dahulu baik kepada masyarakat maupun pemahaman di antara para petugas pengadilan, membuat masalah semakin ruwet.
Dalam perjalanannya, Undang-Undang Nomor 2 tahun 1958 tentang Perjanjian Pemerintah RI-RRT mengenai soal Dwi-Kewarganegaraan, dibatalkan dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1969 tentang Pernyataan tidak berlakunya Undang-Undang Nomor 2 tahun 1958.
Berbeda dengan rumusan pada pembatalan perjanjian KMB, kondisi politik yang menyelimuti keadaan negara sekitar tahun 1969 dapat dirumuskan secara lugas rasional. Bahwa pembatalan sepihak dianggap satu-satunya cara terbaik untuk mengatasi persoalan yang dihadapi.
Pertukaran Nota 3 Juni 1955
Jika dilihat lebih lanjut, pembatalan tersebut dilakukan sekitar 4 (empat) tahun setelah terjadinya pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang diduga memperoleh dukungan dari Pemerintah Partai Komunis China, sementara ada pula pendapat yang menunjuk pada keterlibatan Central Intelligence Agency (CIA) dalam peristiwa G-30-S tersebut. Kudeta PKI September 1965 itu sangat menyakitkan dan menimbulkan amarah yang demikian besar di kalangan bangsa dan pemerintah Indonesia. Oleh karena itu, semua yang dianggap merugikan pemerintah dan bangsa Indonesia harus dibatalkan, serta segala kebijakan selanjutnya harus berpihak pada kepentingan nasional, yaitu penduduk dan warga negara Indonesia.
Secara material, yang dinyatakan tidak berlaku dalam pembatalan tersebut adalah soal dwi-kewarganegaraan dan peraturan-peraturan pelaksanaannya. Orang-orang yang pada saat berlakunya Undang-undang Pembatalan tersebut mempunyai kewarganegaraan Republik Indoneisa berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1958, tetap berkewarganegaraan Indonesia (Pasal 2).
Orang-orang yang termaktub dalam Pasal 2 yang belum dewasa pada saat Undang-undang tersebut mulai berlaku, tetap berkewarganegaraan Indonesia (Pasal 3). Bagi mereka selanjutnya berlaku ketentuan Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Pada waktu Undang-Undang Nomor 2 tahun 1958 tentang Perjanjian Dwi Kewarganegaraan dilaksanakan, yang diatur dalam perjanjian tersebut pada dasarnya hanya keturunan Tionghoa yang memiliki kewarganegaraan rangkap. Mereka yang telah warga negara Republik Indonesia tunggal maupun warga negara asing tunggal sama sekali bukan merupakan subyek Undang-undang tersebut.
Pertukaran Nota 3 Juni 1955
Yang dianggap sudah sebagai warga negara Indonesia tunggal, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1959 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1958 menegaskan bahwa Warganegara Republik Indonesia keturunan Tionghoa yang dianggap telah melepaskan kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok-nya, sebagaimana dimaksud dalam angka 2 Penukaran Nota antara Perdana Menteri Republik Indonesia dan Perdana Menteri Republik Rakyat Tiongkok tertanggal Peking, 3 Juni 1955 ialah mereka yang pada waktu Perjanjian mulai berlaku :
- Sudah pernah bersumpah atau berjanji setia kepada Republik Indonesia sebagai Anggota sesuatu badan resmi;
- Anggota Angkatan Perang Republik Indonesia atau telah dihentikan dengan hormat sebagai demikian;
- Anggota Polisi Republik Indonesia atau telah dihentikan dengan hormat sebagai demikian;
- Seorang veteran;
- Pegawai negeri atau telah dihentikan sebagai pegawai negeri Republik Indonesia dengan berhak menerima pensiun;
- Pegawai daerah otonom atau telah dihentikan sebagai pegawai daerah otonom Republik Indonesia dengan berhak menerima pensiun;
- Sudah lebih dari satu kali mewakili Pemerintah Republik Indonesia dalam lapangan politik, dan setelah mewakili Pemerintah Republik Indonesia tidak pernah mewakili Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok;
- Sudah lebih dari satu kali mewakili Pemerintah Republik Indonesia dalam lapangan ekonomi, dan setelah mewakili Pemerintah Republik Indonesia tidak pernah mewakili Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok;
- Sudah lebih dari satu kali newakili Republik Indonesia dalam lapangan kebudayaan atau keolahragaan yang bersifat perlombaan antar-negara, dan setelah mewakili Repiblik Indonesia, tidak pernah mewakili Republik Rakyat Tiongkok;
- Petani, yang menurut pendapat Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman dan Menteri Agraria cara hidupnya dan pergaulannya dengan masyarakat Indonesia aseli menunjukkan bahwa ia sebetulnya anak pribumi;
Penegasan mengenai subyek ini penting untuk disebutkan, karena sudah sangat sering terjadi sikap menyama-ratakan atau meng-generalisasi subyek Undang-undang adalah semua keturunan Tionghoa yang berada di Indonesia.
Selanjutnya dicatat bahwa, apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang tersebut, akan diatur oleh Menteri Kehakiman (Pasal 5).
Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1969 tentang Pernyataan tidak berlakunya Undang-undang Nomor 2 tahun 1958 tentang persetujuan perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat China mengenai soal dwi kewarganegaraan, maka Undang-Undang kewarganegaraan yang kemudian berlaku adalah Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958 yang masih mendasarkan pada Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950.
Kisah Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan RI–RRT mengajarkan bahwa kewarganegaraan bukan sekadar status hukum, melainkan juga soal kepastian identitas, hak, dan keterikatan dengan bangsa. Pembatalan perjanjian ini pada 1969 menandai pilihan Indonesia untuk menegaskan kedaulatannya dan menutup ruang bagi ambiguitas kewarganegaraan ganda. Dari sini, kita belajar bahwa politik, hukum, dan sejarah selalu berkelindan, dan setiap kebijakan tentang kewarganegaraan sejatinya harus berpihak pada kepentingan nasional sekaligus menjamin rasa aman bagi warganya. @adji