loader image
021- 2510670
sekretariat@yayasan-iki.or.id

Perkawinan Beda Agama dan Jejak Hukum Kolonial di Indonesia

Perkawinan Beda Agama dan Jejak Hukum Kolonial di Indonesia

520 views
Ilustasi dokumen perkawinan beda agama
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Ketika Harus Kawin ke Hongkong

Beberapa waktu lalu saya menghadiri acara slametan perkawinan anak seorang kawan yang kebetulan tokoh nasional di daerah tanah abang. Kedua mempelai kebetulan juga beda agama. Oleh karena itu, pencatatan perkawinannya terpaksa dilakukan di Hongkong. Salah satu dari banyak negara yang menganggap perkawinan beda agama itu bukan masalah.

Ketika ditanya, kenapa harus jauh-jauh pergi ke Hongkong hanya sekedar untuk mencatatkan perkawinan?. Dengan tertawa Mas Harry menjawab, undang-undang kita mengelompokkan warga masyarakat harus direformasi dulu baru bisa kawin di Indonesia.

Regering Reglement (RR) dan Pengelompokan Warga

Awal mula terjadinya pengelompokan warga masyarakat adalah ketika pemerintah Hindia-Belanda menerbitkan Regering Reglement (RR) jo Indische Staatregeling (Stb. 1855-2 jo 1925-415 jo 1925-447) Nederlandsche Onderdaanschap van niet Nederlanders (Stb. 1910-126) – yang intinya mengelompokkan warga masyarakat Hindia-Belanda dalam golongan Eropa, Timur Asing, dan Bumiputera. Bagi kelompok-kelompok ini berlaku aturan hukum yang berbeda.

Dampaknya terhadap Sistem Hukum dan Pendidikan Hukum

Oleh karena itu, dalam pendidikan hukum-pun (ketika itu) ada mata kuliah Hukum Antar Golongan – Intergentiel Recht – Hukum Antar Tata Hukum.

Pembedaan Berdasarkan Agama dan Etnik

Sebagai konsekuensi logis dari sistem konkordansi terhadap peraturan dengan Negeri Belanda dan pembagian kekaulaan Hindia-Belanda. Maka ketentuan pencatatan kelahiran dibedakan antara orang Belanda, Timur Asing, dan Bumiputera. Serta mulai tahun 1930-an memasuki pembedaan dari aspek agama, sehingga pengaturan pencatatan kelahiran pemerintah Hindia-Belanda. Harus membedakan warga masyarakat atas dasar etnik maupun agama, seperti kasus dibawah ini :

  • Seorang anak dari perkawinan sah di Kantor Urusan Agama (KUA). Orang tuanya WNI “Asli” Non Kristen, akan dicatat dengan landasan hukum Stb. 1920-751 jo 1927-564.
  • Sementara itu seorang anak yang lahir dari perkawinan sah WNI “Asli” di Kantor Catatan Sipil. Beragama Kristen akan dicatat dengan landasan hukum Stb. 1933-75 jo 1936-607.

Untuk kasus diatas, sekalipun sesama warga negara Indonesia Asli/pribumi. (Bukan bermaksud mendikotomi, tapi hanya sekedar mempermudah pemahaman) karena berbeda agama, maka apabila terjadi perceraian. Berbeda pula pengadilan yang akan memutuskan, yaitu Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam. Dan Pengadilan Biasa (Negeri) bagi yang beragama Kristen.

Pembedaan Berdasarkan Etnik: Tionghoa dan Eropa

Mengenai masalah hukum waris yang akan diterapkan. Dimungkinkan berbeda pula hukum warisnya terhadap anak yang bersangkutan – salah satu kemungkinan dapat mengikuti Waris Perdata Barat, karena dianggap menundukkan diri pada hukum perdata – Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (AB) Pasal 3 dan Indonesische Staatsregeling (ISR) Pasal 4.

Begitu pula penggolongan atas dasar etnik, seperti :

  • Anak dari WNA Etnik Tionghoa, akan dicatat dengan landasan hukum Stb. 1917-130 jo 1919-81.
  • Begitu pula anak dari WNI Etnik Tionghoa, akan dicatat dengan landasan hukum Stb. 1917-130 jo 1919-81.

Sama-sama etnik Tionghoa walaupun berbeda kewarganegaraan (WNA dan WNI),  dalam pencatatan kelahiran landasan hukumnya sama. Tetapi tidak dalam hal hak mewaris, terutama terhadap kepemilikan benda tidak bergerak khususnya tanah seperti diatur dalam UU Pokok Agraria Pasal 21, dimana WNA tidak dapat memiliki hak milik.

Penggolongan atas dasar etnik berlaku pula bagi golongan Eropa. Landasan hukum WNI peranakan Eropa disamakan dengan WNA Eropa yang lahir di Indonesia, yaitu Stb. 1849-25. Dalam hal hak mewaris, maka tidak berbeda dengan etnik Tionghoa terutama dalam pemilikan benda tidak bergerak.

Petunjuk Mahkamah Agung Tahun 1975: Jalan Tengah yang Terlupakan

Sebagaimana orang percaya, bahwa lahir, hidup, kawin (atau perceraian), mati, adalah kuasa Tuhan Yang Maha Esa, sehingga setiap orang terlebih negara, perlu memberikan penghormatan dan pengakuan (perlindungan hukum) terhadap hak-hak sipil tersebut.

Harapan bagi Reformasi Hukum dan Hak Sipil

Perlindungan hukum yang dapat diberikan tidak lain adalah kebebasan serta perlakuan yang sama dan adil. Kebebasan kepada setiap orang tanpa memandang apapun yang melekat dalam dirinya (suku, agama, ras/etnik, dll). Apalagi kita sudah meratifikasi konvensi-konvensi mengenai hak asasi manusia maupun hak-hak sipil dan politik.

Untuk itu, terhadap peristiwa bersejarah seperti yang dialami putra-putrinya mas Harry ini, sebenarnya tidak perlu jauh-jauh ke Hongkong hanya untuk kawin. Lha wong sudah ada Petunjuk Mahkamah Agung No. MA/Pemb/0807/75 pada zamannya Prof. Oemar Seno Adji, SH. Di situ dijelaskan gamblang, adalah wewenang pengadilan negeri sebagai peradilan umum untuk memeriksa :

  1. mengenai perkara-perkara antara mereka yang tidak beragama Islam, yang berbeda agamanya dan berlainan kewarganegaraan;
  2. mengenai hal-hal yang tidak diatur dalam PP tersebut sekalipun terhadap mereka yang beragama Islam’.

Apabila Petunjuk MA tersebut dipatuhi, puluhan ribu pasang pengantin Indonesia tidak perlu ngantri kawin di Singapura, Australia, maupun Hongkong, bisa ngirit lagi.

Catatan Penutup

Dan harapan itu bisa terlaksana, apabila pemerintah ini sungguh-sungguh mengedepankan demokrasi dan menjunjung tinggi hak-hak sipil dan politik. ***

Paschasius HOSTI Prasetyadji : Peneliti Senior Yayasan Institut Kewarganegaraan Indonesia (Yayasan IKI).

https://www.yayasan-iki.or.id/opini/30/09/2025/diperlukan-media-dalam-penyerbukan-silang-antarbudaya/

 

Tags:

Kirim opini anda disini

Kami menerima tulisan berupa opini masyarakat luas tentang kewarganegaraan, administrasi kependudukan, dan diskriminasi

Klik Disini

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow us on

Jangan ragu untuk menghubungi kami
//
Eddy Setiawan
Peneliti Yayasan IKI
//
Prasetyadji
Peneliti Yayasan IKI
Ada yang bisa kami bantu?