loader image
021- 2510670
sekretariat@yayasan-iki.or.id

Kerangka Hukum Internasional Pencegahan Statelessness Anak

Kerangka Hukum Internasional Pencegahan Statelessness Anak

6 views
Opening Doors for Children adalah publikasi bersama UNHCR, OSCE ODIHR dan HNCM 2025 untuk pencegahan statelessness pada anak.
Opening Doors for Children Prevention of Childhood Statelessness (2025)
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

“No child should be born stateless.”
— António Guterres, saat menjabat sebagai Komisaris Tinggi UNHCR


Kewarganegaraan bukan sekadar status administratif, melainkan prasyarat bagi seseorang untuk diakui, dilindungi, dan memperoleh hak-hak dasarnya. Dalam konteks anak-anak, ketiadaan kewarganegaraan akan berimplikasi langsung pada akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan perlindungan hukum. Oleh karena itu, kerangka hukum internasional berperan fundamental dalam mencegah lahirnya generasi baru tanpa kewarganegaraan. Artikel ini merupakan bagian kedua dari delapan tulisan yang membahas buku Opening Doors for Children: Prevention of Childhood Statelessness (2025).

Instrumen Hukum Utama

Beberapa perjanjian internasional memberikan landasan normatif untuk pencegahan statelessness, khususnya pada anak-anak: Pertama, Konvensi 1954 tentang Status Orang Tanpa Kewarganegaraan. Konvensi ini memberikan definisi hukum mengenai stateless person serta menetapkan standar perlindungan minimum, termasuk hak atas pendidikan dasar dan akses layanan kesehatan. Kedua, Konvensi 1961 tentang Pengurangan Statelessness yang menetapkan mekanisme pencegahan, misalnya melalui kewajiban negara memberikan kewarganegaraan kepada anak yang lahir di wilayahnya apabila anak tersebut berisiko menjadi stateless. Ketiga, Konvensi Hak Anak (CRC, 1989). Pada Pasal 7 dan 8 menjamin hak setiap anak untuk memiliki nama, kewarganegaraan, dan identitas sejak lahir. CRC juga mewajibkan negara untuk melindungi hak tersebut tanpa diskriminasi.

Instrumen Hak Asasi Manusia Lain

Adapun instrumen HAM lainnya terkait isu ini adalah, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) menegaskan hak setiap anak atas kewarganegaraan (Pasal 24). Kemudian, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) melarang diskriminasi dalam pewarisan kewarganegaraan oleh ibu. Meskipun instrumen hukum internasional memberikan kerangka jelas, implementasi di tingkat nasional masih bervariasi. Beberapa negara belum meratifikasi Konvensi 1954 dan 1961, sehingga kewajiban pencegahan statelessness tidak berlaku secara universal.

Di sejumlah negara, hukum kewarganegaraan masih diskriminatif, misalnya tidak mengizinkan perempuan untuk mewariskan kewarganegaraan kepada anak-anak mereka. Selain itu, praktik administratif seperti birokrasi yang rumit, biaya tinggi, atau diskriminasi etnis dapat menghalangi pendaftaran kewarganegaraan anak.

Ratifikasi dan Tantangan

Negara-negara Eropa Barat dan Amerika Latin umumnya telah meratifikasi kedua Konvensi Utama tentang Statelessness, menciptakan standar perlindungan yang relatif kuat. Sebaliknya, sebagian negara di Asia dan Timur Tengah belum menjadi pihak, sehingga banyak anak tetap lahir tanpa kewarganegaraan.

Contoh positif datang dari Filipina, yang telah memperkuat hukum nasionalnya dengan ratifikasi Konvensi 1961 dan penerapan mekanisme perlindungan khusus bagi anak-anak berisiko stateless. Sebaliknya, situasi Rohingya di Myanmar menunjukkan kegagalan implementasi: meski norma internasional jelas, penolakan pengakuan kewarganegaraan menyebabkan ratusan ribu anak lahir dalam kondisi stateless.

Kerangka hukum internasional memberikan fondasi global untuk pencegahan statelessness anak. Tanpa ratifikasi dan implementasi efektif, upaya global akan terhambat. Bab ini menekankan pentingnya sinkronisasi antara hukum internasional dan hukum nasional sebagai prasyarat utama untuk mengakhiri statelessness.

Poin Kunci Bab II

Konvensi 1954 memberikan definisi stateless person dan menetapkan standar perlindungan minimum.

Konvensi 1961 mewajibkan negara mencegah anak lahir tanpa kewarganegaraan.

CRC menjamin hak anak atas nama, kewarganegaraan, dan identitas.

ICCPR dan CEDAW memperkuat norma anti-diskriminasi dalam kewarganegaraan.

Ratifikasi belum universal; banyak negara di Asia dan Timur Tengah belum menjadi pihak.

Implementasi di tingkat nasional sering terhambat oleh hukum diskriminatif dan hambatan administratif.

Studi kasus Filipina menunjukkan reformasi positif, sedangkan situasi Rohingya memperlihatkan dampak ketiadaan pengakuan kewarganegaraan.

Sinkronisasi hukum nasional dengan standar internasional adalah kunci pencegahan statelessness anak.@esa

Sumber: Opening Doors for Children: Prevention for Childhood Statelessness

Tags:

Kirim opini anda disini

Kami menerima tulisan berupa opini masyarakat luas tentang kewarganegaraan, administrasi kependudukan, dan diskriminasi

Klik Disini

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow us on

Jangan ragu untuk menghubungi kami
//
Eddy Setiawan
Peneliti Yayasan IKI
//
Prasetyadji
Peneliti Yayasan IKI
Ada yang bisa kami bantu?