Sejak 2019, pemerintah Indonesia punya satu strategi besar yang mungkin jarang terdengar di ruang publik: Stranas AKPSH—singkatan dari Strategi Nasional Percepatan Administrasi Kependudukan untuk Pengembangan Statistik Hayati. Program ini lahir lewat Perpres No. 62 Tahun 2019, dan tujuannya sederhana tapi sangat mendasar: memastikan setiap orang tercatat, dan setiap kelahiran maupun kematian terdokumentasi dengan baik.
Mengapa ini penting? Karena tanpa data kependudukan yang rapi, pembangunan nyaris mustahil berjalan tepat sasaran. Kebijakan tanpa basis data yang baik, valid dan terbaharui cenderung akan menjadi kebijakan asal-asalan dan hanya menghamburkan keuangan negara.
Dari Akta Kelahiran hingga KTP Digital
Salah satu capaian nyata dari Dukcapil adalah meningkatnya cakupan akta kelahiran anak dan kepemilikan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Kalau dulu masih banyak anak yang lahir tanpa akta, kini angka itu terus mendekati target nasional: hampir 100% pada 2024.
Selain itu, warga negara Indonesia sudah mulai menggunakan Identitas Kependudukan Digital (IKD)—KTP versi aplikasi yang bisa diakses dari ponsel. Integrasi data lewat Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) juga sudah semakin rapi dan terus diperbaharui dukcapil. Sehingga, masyarakat seharusnya tak perlu lagi repot bolak-balik ke kantor Dukcapil hanya untuk urusan administrasi. Bahkan sebagian sudah bisa diurus melalui IKD.
Menjangkau yang Rentan
Stranas AKPSH juga punya perhatian khusus pada kelompok rentan: penyandang disabilitas, masyarakat adat, hingga warga yang tinggal di daerah terpencil. Layanan jemput bola di kawasan 3T (terdepan, terpencil, tertinggal) menjadi salah satu langkah nyata. Meski begitu, pekerjaan rumah masih besar. Data tentang kelompok-kelompok ini belum sepenuhnya rapi, sehingga seringkali mereka masih luput dari radar layanan negara. Kelompok rentan ini harus dilindungi, karena tanpa dokumen identitas hukum memadai, kewarganegaraan mereka bisa menjadi tidak efektif. Salah satu yang paling pokok adalah bisa mengalami kesulitan akses terhadap berbagai hak. Baik sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya.
Melalui Stranas AKPSH, pemerintah juga telah menyusun statistik hayati—data tentang kelahiran dan kematian yang sangat vital untuk perencanaan pembangunan. Angkanya sempat melonjak di tahun 2021 dengan akurasi lebih dari 90%, tapi kemudian menurun lagi di 2022 dan 2023. Ini menunjukkan pekerjaan belum selesai; kualitas data masih harus ditingkatkan, agar benar-benar bisa jadi dasar pengambilan kebijakan publik.
Pentingnya Kerja Sama Lintas Instansi
Tak kalah menarik, Stranas AKPSH mensyaratkan kolaborasi banyak lembaga: dari Bappenas, Kemendagri, BPS, hingga Kemlu. Perjanjian kerja sama antarinstansi memungkinkan data kependudukan dihubungkan dengan data bantuan sosial, pendidikan, hingga layanan kesehatan.
Tantangannya? Regulasi dan teknologi belum selalu sejalan. Misalnya, soal standar keamanan data atau keterbatasan anggaran untuk memperkuat layanan di lapangan. Stranas AKPSH memang baru satu langkah. Tapi dari situ kita bisa lihat arah besar: Indonesia sedang berusaha membangun administrasi kependudukan yang inklusif, modern, dan digital. Dan kelak, seluruh sistem di berbagai kementerian dan lembaga dapat saling berkomunikasi dan berinteraksi real time.
Bagi masyarakat, hasilnya mungkin terasa sederhana—lebih mudah bikin akta lahir, KTP bisa diakses lewat ponsel, atau layanan jemput bola di daerah terpencil. Tapi di balik itu semua, ada proses panjang menata data, mengintegrasikan sistem, dan memastikan tak ada satu pun warga negara yang tertinggal. Karena pada akhirnya, pembangunan hanya bisa adil kalau setiap orang tercatat. Harapannya tentu pemerintah dengan data yang makin tertata, dapat menetapkan dan mengimplementasikan strategi pembangunan yang tepat, efisien dan efektif. @esa