loader image
021- 2510670
sekretariat@yayasan-iki.or.id

Hukum Bahasa Cina di Indonesia: Dari Larangan ke Kebebasan

Hukum Bahasa Cina di Indonesia: Dari Larangan ke Kebebasan

3 views
Ilustrasi hukum bahasa Cina di Indonesia – dokumen hukum klasik dan huruf Tionghoa
Illustrasi penelaahan aspek hukum
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Penelaahan Aspek Hukum Mengenai Bahasa/Huruf Asing (Cina)

Hukum bahasa Cina di Indonesia pernah mengalami masa pelarangan yang cukup panjang sebelum akhirnya berubah arah menjadi kebijakan yang lebih terbuka.

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penggunaan bahasa asing kini menjadi kebutuhan penting. Dalam dunia pendidikan, bisnis, hingga komunikasi internasional, penguasaan bahasa asing seperti bahasa Cina memberikan nilai tambah yang besar.

Namun, tidak banyak yang tahu bahwa pada masa lalu, penggunaan bahasa dan huruf Cina pernah dilarang secara hukum. Larangan ini tidak lepas dari situasi politik dan kebijakan nasional pada masa awal kemerdekaan hingga Orde Baru.

Artikel ini akan mengulas secara lengkap penelaahan hukum bahasa Cina di Indonesia, mulai dari dasar hukumnya, perubahan kebijakan, hingga status hukumnya saat ini.

 

Kebijakan yang Melarang Penggunaan Huruf dan Bahasa Cina

Larangan terhadap penggunaan bahasa dan huruf Cina diatur dalam Ketetapan MPRS No. XXXII/MPRS/1966 tertanggal 5 Juli 1966.

Dalam Pasal 4 disebutkan dengan tegas:

“Penerbitan pers dalam bahasa asing bukan Latin (misalnya Tiong Hoa) hanya dimungkinkan satu penerbitan oleh Pemerintah.”

Ketetapan tersebut lahir di tengah situasi politik pasca peristiwa 1965, ketika pemerintah membatasi pengaruh asing, termasuk budaya dan bahasa Cina.

Dasar hukum dari Tap MPRS tersebut adalah Tap MPRS No. II/MPRS/1960, yang dijadikan pijakan dalam penetapan kebijakan bahasa asing kala itu.
Inilah masa awal terbentuknya hukum bahasa Cina di Indonesia yang bersifat pembatasan.

 

Perkembangan Hukum Bahasa Cina di Indonesia Setelah 1966

Dua tahun kemudian, MPRS mengeluarkan Tap MPRS No. XXXVIII/MPRS/1968 tanggal 27 Maret 1968 tentang Pencabutan Beberapa Tap MPRS.
Melalui ketetapan ini, Tap MPRS No. II/MPRS/1960—yang menjadi dasar hukum bagi larangan bahasa Cina—secara resmi dicabut.

Dengan demikian, Tap MPRS No. XXXII/MPRS/1966 kehilangan dasar pijakannya.
Secara hukum, ketetapan tersebut tidak lagi memiliki kekuatan mengikat, karena landasannya sudah tidak berlaku.

Walaupun dalam praktik politik dan sosial saat itu pembatasan masih terjadi, namun secara hukum formal, hukum bahasa Cina di Indonesia sejak saat itu sudah kehilangan dasar legalnya.

 

Pergeseran Paradigma dalam Kebijakan Bahasa Asing

Memasuki era pembangunan nasional, arah kebijakan pemerintah terhadap bahasa asing berubah signifikan.
Hal ini ditegaskan dalam Tap MPR No. II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), khususnya pada huruf (g), yang menyatakan:

“Kemampuan penguasaan bahasa asing perlu ditingkatkan dan dikembangkan untuk memperlancar komunikasi dengan bangsa lain di segala aspek kehidupan, terutama penyerapan informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, di samping memperluas cakrawala pandang bangsa sejalan dengan kebutuhan pembangunan.”

Kebijakan ini menandai perubahan besar dalam hukum bahasa Cina di Indonesia.
>Jika sebelumnya penggunaan bahasa Cina dianggap ancaman ideologis, maka sejak 1993 penguasaan bahasa asing justru dilihat sebagai aset nasional untuk kemajuan bangsa.

 

Implikasi Terhadap Penggunaan Bahasa Cina Saat Ini

Dengan dicabutnya dasar hukum larangan dan hadirnya kebijakan baru melalui Tap MPR 1993, maka hukum bahasa Cina di Indonesia saat ini tidak lagi bersifat membatasi.

Pembelajaran bahasa Mandarin kini berkembang pesat di sekolah, universitas, hingga lembaga kursus.
Kerja sama Indonesia–Tiongkok juga semakin kuat di bidang pendidikan, bisnis, dan kebudayaan.

Semua ini menunjukkan bahwa paradigma hukum telah bergeser: dari pembatasan menjadi pengembangan kemampuan bahasa asing demi memperluas wawasan bangsa di era globalisasi.

Kesimpulan

Secara hukum, Tap MPRS No. XXXII/MPRS/1966 tentang larangan penerbitan dalam bahasa asing bukan Latin (termasuk bahasa Cina) telah kehilangan kekuatan hukum sejak dicabutnya Tap MPRS No. II/MPRS/1960 oleh Tap MPRS No. XXXVIII/MPRS/1968.

Kebijakan nasional kemudian berubah arah dengan Tap MPR No. II/MPR/1993 tentang GBHN, yang menekankan pentingnya penguasaan bahasa asing untuk kemajuan bangsa.

Dengan demikian, hukum bahasa Cina di Indonesia saat ini tidak lagi melarang penggunaan bahasa atau huruf Cina, selama tetap mengikuti ketentuan umum tentang penggunaan bahasa dalam ruang publik dan sistem pendidikan nasional.

https://www.yayasan-iki.or.id/opini/30/09/2025/diperlukan-media-dalam-penyerbukan-silang-antarbudaya/


https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt5059801bcced1/ketetapan-mprs-nomor-ii-mprs-1960-tahun-1960/

 

Tags:

Kirim opini anda disini

Kami menerima tulisan berupa opini masyarakat luas tentang kewarganegaraan, administrasi kependudukan, dan diskriminasi

Klik Disini

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow us on

Jangan ragu untuk menghubungi kami
//
Eddy Setiawan
Peneliti Yayasan IKI
//
Prasetyadji
Peneliti Yayasan IKI
Ada yang bisa kami bantu?