loader image
021- 2510670
sekretariat@yayasan-iki.or.id

Politik Pendidikan Agama: Sebuah Renungan Singkat

Politik Pendidikan Agama: Sebuah Renungan Singkat

47 views
Politik pendidikan agama bukan hanya tentang kurikulum pendidikan agama di sekolah. Tapi soal pilihan konsepsi yang terentang dari sekuler, theokratis, integralistik, hingga multikultural.
Politik Pendidikan Agama
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Pendidikan tak pernah sepenuhnya netral. Di balik setiap kurikulum selalu tersimpan pandangan tentang manusia, masyarakat, dan Tuhan. Karena itu, politik pendidikan agama bukan sekadar soal pelajaran agama di sekolah, melainkan tentang bagaimana negara memposisikan agama di ruang publik.

Dari Eropa hingga Indonesia, hubungan antara agama dan negara telah membentuk paradigma berbeda-beda tentang pendidikan. Setiap paradigma lahir dari sejarahnya sendiri — dari kritik terhadap kekuasaan agama, hingga upaya mengembalikan nilai-nilai spiritual ke tengah masyarakat modern.

Sekularisme: Rasionalitas dan Pemisahan

Paradigma sekuler muncul di Eropa pada Zaman Pencerahan (abad ke-17–19) sebagai reaksi terhadap dominasi gereja. Tokoh seperti John Locke dan Thomas Jefferson menggagas pemisahan antara negara dan agama (separation of church and state).

Negara tidak melarang agama, tetapi tidak pula menjadikannya dasar hukum dan kebijakan. Dalam pendidikan, prinsip ini melahirkan pendidikan sekuler, yang berfokus pada rasionalitas dan sains tanpa intervensi dogma.

Model ini diterapkan di Prancis melalui konsep laïcité dan di Amerika Serikat melalui sekolah publik yang bebas dari pengajaran agama tertentu. Pendidikan diharapkan mencerdaskan warga negara yang rasional dan bebas berpikir.
Namun, seiring waktu, sekularisme juga menuai kritik karena dianggap menyebabkan krisis spiritualitas — pendidikan mencerdaskan otak, tapi kering dari nilai-nilai moral dan makna batin.

Teokrasi: Pendidikan sebagai Ibadah

Kebalikan dari sekularisme adalah paradigma teokratis, di mana agama menjadi dasar seluruh kehidupan sosial-politik. Negara dipandang sebagai perwujudan kehendak Tuhan, dan pendidikan berfungsi menanamkan nilai-nilai wahyu.

Dalam tradisi Islam klasik, paradigma ini tampak dalam sistem madrasah, di mana ilmu agama dan sains diajarkan berdampingan. Tokoh-tokoh seperti Al-Ghazali, Ibn Sina, dan Ibn Khaldun menegaskan bahwa pendidikan adalah ibadah intelektual untuk mengenal Tuhan.

Paradigma ini menumbuhkan masyarakat religius dan bermoral, namun berpotensi membatasi kebebasan berpikir jika digunakan untuk mengontrol kehidupan publik. Model teokratis masih terlihat di negara seperti Iran dan Vatikan, di mana kurikulum diatur langsung oleh otoritas agama.

Integralistik: Jalan Tengah ala Indonesia

Indonesia menempuh jalan tengah. Melalui Pancasila, negara ini menegaskan bahwa ia bukan negara agama, tetapi juga tidak sekuler. Agama dan negara saling meneguhkan demi kesejahteraan manusia.

Paradigma integralistik ini menempatkan agama sebagai bagian integral dari kehidupan berbangsa.
Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa pendidikan nasional harus meningkatkan “keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia”.
Melalui UU Sisdiknas 2003, setiap peserta didik berhak memperoleh pendidikan agama sesuai agamanya — kebijakan yang merefleksikan keseimbangan antara hak individu dan tanggung jawab negara.

Pemikir seperti Azyumardi Azra dan Nurcholish Madjid menyebutnya religious democracy, yaitu demokrasi yang berketuhanan.
Sementara Dr. H. Syafii (2020) menyebut pendekatan ini sebagai “pendidikan agama integralistik-Pancasialis”: upaya menyeimbangkan iman dan ilmu, moral dan rasionalitas.

Paradigma Baru: Pluralisme dan Post-Sekulerisme

Memasuki abad ke-21, muncul paradigma baru yang melampaui tiga model klasik tadi. Pertama, paradigma pluralistik, yang menekankan pentingnya pendidikan antaragama (interreligious education). Tokoh seperti John Hick dan Diana Eck mendorong agar pendidikan agama tidak hanya menanamkan kesalehan pribadi, tetapi juga kemampuan memahami dan menghormati perbedaan. Model ini diterapkan di Kanada dan Australia, di mana siswa belajar mengenal berbagai agama sebagai bagian dari pendidikan kewarganegaraan.

Kedua, paradigma post-sekuler, yang dikemukakan oleh Jürgen Habermas dan José Casanova. Paradigma ini mengakui bahwa sekularisasi tidak menghapus peran agama dalam ruang publik. Sekolah modern justru dapat menjadikan agama sebagai mitra dialog bagi rasionalitas dan demokrasi, bukan sebagai ancaman terhadap keduanya.

Dalam konteks Indonesia, paradigma post-sekuler ini tercermin dalam kebijakan moderasi beragama yang dicanangkan Kementerian Agama sejak 2019: agama tidak dihapus dari ruang publik, tetapi diajak berdialog dengan akal dan kemanusiaan.

Paradigma Transformatif: Dari Dogma ke Dialog

Paradigma lain yang penting adalah pendidikan agama transformatif, yang terinspirasi oleh Paulo Freire dan Gustavo Gutiérrez. Di sini, pendidikan agama tidak sekadar menanamkan doktrin, melainkan mendorong perubahan sosial dan keadilan.

Di Indonesia, gagasan ini tampak dalam pemikiran KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Ahmad Syafi’i Ma’arif, yang melihat iman sejati sebagai kekuatan pembebas, bukan pengekang. Pendidikan agama, kata mereka, harus menghidupkan nilai kemanusiaan, bukan hanya kepatuhan ritualistik. Semangat pembebasan Gus Dur bahkan tampak dari pernyataannya yang disampaikan kepada Buya Syakur di suatu kesempatan. Menurut Gus Dur, beragama itu ibarat menggenggam bara api.

Dari sekularisme hingga post-sekularisme, dari teokrasi hingga pluralisme, semua paradigma politik pendidikan agama menunjukkan bahwa agama dan pendidikan tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial dan politik. Indonesia, dengan model integralistiknya, kini bergerak menuju arah baru: pendidikan agama yang dialogis, plural, dan membebaskan. Bukan pendidikan agama yang dogmatis dan segregatif. Memisahkan antara “kita” dan “mereka” seolah masih terjebak dalam fanatisme keagamaan yang tidak produktif.

Politik pendidikan agama bukan lagi tentang siapa yang menguasai ruang publik, melainkan tentang bagaimana spiritualitas, nalar, dan kemanusiaan bisa berjalan beriringan. Pendidikan agama seharusnya menjadi jembatan, bukan pemisah antara agama dan kewarganegaraan. Dengan demikian, bisa diharapkan lahir warga negara berkualitas dengan kesadaraan kewargaan. Warga negara yang mampu menopang bangunan kebangsaan yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.@esa

Tags:

Kirim opini anda disini

Kami menerima tulisan berupa opini masyarakat luas tentang kewarganegaraan, administrasi kependudukan, dan diskriminasi

Klik Disini

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow us on

Jangan ragu untuk menghubungi kami
//
Eddy Setiawan
Peneliti Yayasan IKI
//
Prasetyadji
Peneliti Yayasan IKI
Ada yang bisa kami bantu?