Kasus meninggalnya diplomat muda Kementerian Luar Negeri, Arya Daru Pangayunan (ADP), di kamar kosnya di Jakarta pada Juli 2024 menggugah kesadaran publik akan pentingnya kesehatan mental dan akurasi data kematian. Berdasarkan penyelidikan Polda Metro Jaya dan hasil forensik RSCM, ADP dipastikan meninggal karena bunuh diri. Ia diketahui menyimpan niat tersebut sejak lebih dari satu dekade sebelumnya, sebagaimana terekam dalam korespondensi email ke lembaga pendukung emosional.
Kasus ini menjadi simbol nyata dari dua persoalan besar di Indonesia: krisis kesehatan mental yang terus tumbuh diam-diam, dan sistem pencatatan penyebab kematian yang belum akurat dan belum terintegrasi antar lembaga. Kasus diplomat muda ini bisa jadi hanya puncak dari gunung es, tingginya angka bunuh diri di Indonesia. Negeri ini butuh data yang akurat agar dapat melahirkan kebijakan untuk menanggulanginya. Salah satunya bisa dilakukan melalui pencatatan sipil, yang sekarang disebut kependudukan dan pencatatan sipil alias dukcapil.
Sebab Kematian: Terdata atau Terabaikan?
Dalam sistem administrasi kependudukan Indonesia, pencatatan kematian dilakukan melalui pengisian Formulir F-2.01, yang merupakan bagian dari pelayanan pencatatan sipil oleh Dukcapil. Formulir ini mencantumkan enam pilihan sebab kematian, yaitu: Sakit Biasa/Tua; Wabah Penyakit; Kecelakaan; Kriminalitas; Bunuh Diri; dan Lainnya.
Namun yang menjadi persoalan serius adalah: tidak ada kewajiban menyertakan bukti resmi dari lembaga berwenang saat salah satu kategori ini dicentang. Akibatnya, banyak isian “sebab kematian” yang berdasarkan asumsi pelapor atau spekulasi keluarga, tanpa konfirmasi medis atau penyelidikan forensik.
Misalnya, kasus bunuh diri kerap dilaporkan sebagai “sakit mendadak” atau “wafat dalam tidur” karena stigma sosial. Ini berimbas langsung pada rendahnya keakuratan data nasional mengenai penyebab kematian, terutama kematian akibat bunuh diri.
Angka Bunuh Diri Meningkat, Tapi Tidak Terlaporkan
Menurut data dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Polri, angka bunuh diri di Indonesia meningkat drastis dalam lima tahun terakhir: Pada 2020: 640 kasus, 2022: 887 kasus, dan 2023: 1.288 kasus. Sementara sejak Januari–Oktober 2024: 1.023 kasus.
Namun, data ini diyakini jauh lebih rendah dari kenyataan. Komunitas Into The Light Indonesia bahkan mencatat bahwa tingkat pelaporan bisa 300% lebih rendah dibanding angka riil, terutama karena stigma dan ketakutan keluarga akan cap negatif. Sebagaimana terjadi pada kasus diplomat muda ini.
Sementara itu, WHO mencatat lebih dari 700.000 kasus bunuh diri per tahun secara global, dengan mayoritas terjadi pada kelompok usia 15–29 tahun. Di Indonesia, tekanan akademik, perundungan, kemiskinan, serta gangguan mental seperti depresi dan kecemasan menjadi pemicu utama.
Mengapa Data Akurat itu Penting?
Tanpa data yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan, negara tidak akan pernah mampu membangun sistem pencegahan yang efektif. Akurasi data bukan hanya soal dokumentasi, tapi menyangkut hidup dan mati. Jika bunuh diri tidak dikenali sebagai penyebab kematian, maka tidak akan ada:
- Intervensi kebijakan yang tepat.
- Penyusunan program edukasi dan pencegahan yang efektif.
- Alokasi sumber daya untuk kesehatan jiwa.
- Pelayanan publik seperti konseling, hotline krisis, dan pendampingan sosial.
Solusi: Verifikasi, Integrasi, dan Inklusi
Untuk mengatasi krisis ini, dibutuhkan reformasi menyeluruh dalam sistem pencatatan penyebab kematian, antara lain:
1. Verifikasi Dokumen Wajib
Setiap kategori sebab kematian dalam Formulir F-2.01 harus dilengkapi dokumen pendukung dari lembaga berwenang, seperti: Dokter atau rumah sakit untuk sakit/wabah; Kepolisian atau forensik untuk bunuh diri dan kriminalitas; Petugas medis desa atau bidan untuk kematian di rumah.
2. Interoperabilitas Antar Lembaga
Sistem informasi Dukcapil, Kementerian Kesehatan, BPS, dan Polri harus terhubung. Sehingga memungkinkan pencocokan data secara otomatis dan berbasis NIK. Data penyebab kematian bisa dijadikan dasar statistik nasional yang valid dan terbuka
3. Pencegahan Bunuh Diri Berbasis Data
Pemerintah dapat membangun sistem layanan kesehatan mental yang komprehensif, seperti:
Edukasi dan literasi psikologis di sekolah dan kampus. Konseling dan layanan psikologi di Puskesmas & RSUD. Layanan psikolog/psikiater yang ditanggung BPJS. Hotline krisis dan layanan intervensi dini. Terakhir program pelatihan keluarga dan komunitas untuk mengenali gejala depresi
Kematian adalah akhir dari kehidupan, tapi juga seharusnya awal dari perhatian negara. Data kematian — khususnya akibat bunuh diri — harus dicatat secara jujur, akurat, dan berbasis bukti. Hanya dengan itu, kita bisa membangun sistem yang tidak hanya mencatat kematian, tapi juga menyelamatkan kehidupan. Sehingga, kita dapat berharap kejadian diplomat muda ini dapat dicegah.@esa