loader image
021- 2510670
sekretariat@yayasan-iki.or.id

Stateless di Indonesia: Antara Ada dan Tiada

Stateless di Indonesia: Antara Ada dan Tiada

238 views
Isu stateless di Indonesia antara ada dan tiada
Stateless di Indonesia antara ada dan tiada
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Bicara soal kewarganegaraan di Indonesia, rumusnya sederhana di atas kertas: Warga Negara Indonesia (WNI) dan orang asing. Meski telah memiliki tiga rezim Undang-Undang Kewarganegaraan, dari 3/1946, 62/1958, hingga 12/2006. Semuanya hanya mengenal dua status ini, dan mengabaikan satu status: orang tanpa kewarganegaraan, atau stateless person. Isu stateless di Indonesia memang antara ada dan tiada, tidak diatur tapi nyata di lapangan.

Ikatan Hukum yang Tidak Semua Orang Punya

Dalam hukum internasional, kewarganegaraan bukan sekadar identitas hukum, tetapi ikatan hukum formal antara seseorang dengan negara. Ikatan ini yang membuka pintu pada banyak hak dasar: pendidikan, pekerjaan, kesehatan, perjalanan, hingga perlindungan diplomatik.

Ketika orang kehilangan kewarganegaraan — atau sejak lahir tidak memilikinya — dampaknya bisa menghancurkan hidup. UNHCR (2010) dalam Melindungi Hak-Hak Orang-Orang Tanpa Kewarganegaraan mengingatkan, statelessness tidak hanya memutus akses pada dokumen, tetapi juga membuat orang terlempar dari perlindungan hukum.

Stateless Bukan Sekadar Pengungsi

Orang tanpa kewarganegaraan tidak selalu sama dengan pengungsi. Banyak stateless tidak pernah melintasi batas negara. Mereka lahir, besar, dan hidup di tanah yang sama — tetapi tanpa akta lahir, tanpa KTP, tanpa catatan hukum yang mengikat mereka dengan negara.

UNHCR mencatat, ada 12 juta orang stateless di dunia. Sebagian di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. UNHCR menekankan, selama belum ada konvensi yang diratifikasi dan prosedur resmi penetapan status, orang-orang stateless tidak punya payung hukum nasional.

Konvensi 1954: Kerangka Perlindungan

Konvensi 1954 tentang Status Orang-Orang Tanpa Kewarganegaraan adalah satu-satunya perangkat hukum internasional yang secara khusus menjamin perlindungan bagi orang stateless. Prinsipnya sederhana: orang tanpa kewarganegaraan tidak boleh diperlakukan lebih buruk dari orang asing biasa yang punya paspor.

Konvensi ini mewajibkan negara untuk: Memberikan dokumen identitas dan dokumen perjalanan; Menjamin akses pendidikan, peradilan, kebebasan beragama, dan perlindungan dasar dan; Mempermudah naturalisasi agar orang-orang stateless punya jalan memperoleh kewarganegaraan.

Sayangnya, Indonesia belum menjadi pihak Konvensi 1954 sehingga isu stateless di Indonesia seolah tidak mendapat tempat. Akibatnya, status stateless tidak punya jalur resmi di hukum nasional — dan perlindungan formalnya bergantung pada kerelaan kebijakan imigrasi atau kebijakan darurat. Selama ini Indonesia kerap menerima para pengungsi internasional yang “terdampar” dan memberikan fasilitasi berdasarkan rasa kemanusiaan. Tidak semua pengungsi adalah stateless, tapi diantaranya selalu ada yang tanpa kewarganegaraan. Bisa karena negaranya bubar, melarikan diri tanpa dokumen, berasal dari negara konflik berkepanjangan sehingga pemerintahannya tidak efektif, dan sebagainya.

De Facto Stateless: Warga yang Hilang di Dalam Negeri

UNHCR juga membedakan de jure stateless (orang yang tidak diakui negara manapun) dengan de facto stateless — mereka yang di atas kertas punya kewarganegaraan, tetapi tidak dapat membuktikannya. Inilah kenyataan yang dialami diantara pengungsi, bahkan WNI sekalipun. Jadi selain isu orang tanpa kewarganegaraan diantara pengungsi yang “terdampar” di Indonesia. Kita juga punya isu WNI yang rentan jadi de facto stateless di negeri sendiri.

Ada jutaan orang yang lahir dari keluarga miskin ekstrem, tinggal di daerah terisolir, atau korban diskriminasi masa lalu. Sangat mungkin diantara mereka banyak yang tidak punya dokumen kependudukan dan pencatatan sipil. Tanpa akta lahir, tak pernah tercatat di kantor catatan sipil, tidak punya KTP, KK, dan sebagainya. Secara hukum, mereka sah WNI, berdasarkan konstitusi. Tapi dalam praktik, mereka “tidak diakui” dan tidak masuk dalam potret keluarga warga negara Indonesia. Inilah de facto stateless.

Mengapa Ratifikasi Konvensi Penting?

UNHCR menekankan, ratifikasi Konvensi 1954 adalah cara negara menunjukkan komitmen HAM untuk orang-orang stateless. Aksesi Konvensi akan menjamin orang stateless punya jalur identitas resmi. Selain itu juga menyediakan dokumen perjalanan pengganti paspor, membuka prosedur penetapan status stateless yang adil, mencegah orang stateless ditahan atau dipulangkan ke tempat yang membahayakan, dan Mempermudah jalur naturalisasi, agar orang stateless punya kesempatan sah jadi warga negara.

Pintu Solusi: Dari Pencegahan Hingga Pengakuan

Di Indonesia, upaya mencegah statelessness dimulai dari pencatatan kelahiran universal. Data terbaru Dukcapil 2024 menunjukkan 91,8% anak Indonesia punya akta lahir. Tapi masih ada jutaan anak yang rawan “tak terlihat” di birokrasi.

Selain itu, negara perlu menyederhanakan prosedur, mendekatkan layanan ke komunitas adat, keluarga miskin, hingga anak-anak hasil perkawinan lintas negara. Di sisi lain, jalur pengakuan status stateless — yang diakui Konvensi 1954 — juga harus dibangun.

Karena tanpa status, orang stateless akan tetap hidup di ruang abu-abu: bukan warga, bukan asing, tetapi tetap tak diakui di mana pun.

Akhirnya: Hak atas Kewarganegaraan adalah Hak Asasi

Deklarasi Universal HAM menegaskan, setiap orang berhak atas suatu kewarganegaraan. Maka statelessness bukan sekadar soal administrasi, tetapi hak dasar untuk diakui dan dilindungi. UNHCR, lewat panduannya, mengingatkan bahwa perlindungan bagi orang stateless di Indonesia lebih sebagai respon darurat. Sebenarnya solusi akhir dari isu stateless dimanapun adalah pemberian kewarganegaraan. Tentu dipahami bahwa setiap negara memiliki kedaulatannya masing-masing dalam menentukan hal ini. Namun, harus digarisbawahi bahwa semua negara perlu memikirkan solusi mengatasi persoalan ini, agar kita bisa memanusiakan manusia.

Sudah saatnya isu stateless di Indonesia didiskusikan lebih terbuka dan dalam: Bagaimana hukum kita bisa melihat mereka yang selama ini tak diakui? Untuk konteks Orang Asing, perlu dibedakan antara yang berdokumen resmi dengan yang tanpa dokumen. Sedangkan untuk isu de facto stateless, cukup dengan komitmen setiap petugas di berbagai institusi pemerintahan.  Komit untuk mendata dan melaporkan setiap menemukan WNI yang tak berdokumen ke dukcapil. Selanjutnya dukcapil bisa melakukan pemeriksaan, perekaman, dan penerbitan dokumen. Bukankah makin lengkap data, makin mudah penataan dan pengawasan? Ingatlah bahwa tak ada satu pun manusia yang boleh dianggap “tidak ada”.@esa

Tags:

Kirim opini anda disini

Kami menerima tulisan berupa opini masyarakat luas tentang kewarganegaraan, administrasi kependudukan, dan diskriminasi

Klik Disini

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow us on

Jangan ragu untuk menghubungi kami
//
Eddy Setiawan
Peneliti Yayasan IKI
//
Prasetyadji
Peneliti Yayasan IKI
Ada yang bisa kami bantu?