JAKARTA, IKI
Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) didirikan pada tanggal 11 Agustus 2006, satu bulan setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Para pendirinya adalah orang-orang yang memiliki perhatian dan perjuangan panjang terhadap perihal status kewarganegaraan dan terlibat dalam berbagai usaha menuntaskan masalah Kewarganegaraan di Indonesia sejak jaman Orde Baru hingga saat ini.
Latar belakang para pendiri IKI sangat beragam, baik dari sisi suku, agama, dan profesi. Sebagian bahkan telah concern dan aktif berjuang di bidang ini sejak akhir 70-an hingga pertengahan tahun 90-an dengan membuahkan hasil berupa kemudahan proses pewarganegaraan bagi kalangan yang masih dikategorikan asing saat itu.
Era reformasi telah membuka peluang untuk mengkritisi kembali sumber hukum Kewarganegaraan di Indonesia yang dinilai masih diskriminatif, yakni UU Kewarganegaraan Nomor 62 Tahun 1958. Dimulailah usaha-usaha untuk melakukan perubahan, dengan mengajukan Rancangan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru, yang dimulai sekitar tahun 2000. Setelah enam tahun, perjuangan yang didukung banyak pihak tersebut akhirnya berhasil, dengan disahkannya Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru yakni Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 pada sidang paripurna DPR RI.
Dengan slogan, Kita satu, Kita sama, Kita setara, Satu tujuan: Indonesia, IKI berusaha mengimplementasikan slogan tersebut dalam bidang Administrasi Data Kependudukan (Adminduk), berupa akta kelahiran, kartu keluarga dan KTP. Kepemilikan adminduk merupakan hak dasar setiap warganegara tanpa membedakan suku, ras, keturunan dan agama untuk mewujudkan Indonesia yang satu, sama, dan setara.
Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah adalah kota kecil yang unik, berbagai agama bisa berkembang dengan damai. Lasem selain mendapat predikat sebagai kota santri, juga kota peranakan Tionghoa. Sekitar 29 pondok pesantren berdiri di Lasem.
Warga Lasem dan para santri bisa hidup berdampingan dengan warga keturunan . Kota Lasem tidak bisa dipisahkan dengan Pecinan mengingat kedatangan orang Tiongkok terbesar di Jawa adalah di Lasem.
“Bahkan, sejarah mencatat tahun 1411 warga Tionghoa muslim sudah membangun sebuah masjid di Lasem jadi kota Lasem merupakan kota kecil yang unik menjaga toleransi sejak nenek moyang dan lasem merupakan muniatur kebhinekaan,” ujar Mohammad Al Mahdi atau biasa dipanggil Koh Lam, penggiat sejarah Lasem.
Sejarahwan Lasem Edi Winarno menegaskan, yang paling terkenal masuknya warga Tionghoa di Lasem ini adalah pada sekitar abad ke-15 atau tahun 1413, ketika ekspedisi Cheng Ho memasuki wilayah Jawa. Karena, menurut Edi, anak buah Cheng Ho yang saat itu dipimpin oleh Bi Nang Un mendarat di Teluk Regol, atau sekarang dikenal sebagai Laut Bonang ini, membawa peradaban baru.
Mereka membawa kesenian, seperti seni tari, seni batik, termasuk mengenalkan agama Islam.
“Pada saat itu juga diyakini Cheng Ho sempat membuat masjid di Lasem. Karena meskipun Cheng Ho ini ekspedisi Kaisar Yung Le dari Tiongkok, tetapi memang membawa misi Islam.
Bahkan bebarapa sejahrawan menulis tentang ekspedisi Cheng Ho juga mengatakan, ia membuat masjid di beberapa daerah seperti Palembang, di Jakarta dan di Lasem,” katanya.
Miniatur kebhinekaan Lasem, selain mendapat predikat sebagai kota santri, juga kota peranakan Tionghoa. Terdapat sekitar 29 pondok pesantren berdiri di Lasem,
mendorong IKI untuk menerapkan program kerjanya untuk memberikan pelayanan adminduk kepada warga Lasem baik untuk warga keturunan tionghoa yang pada masa lalu mengalami diskriminasi administrasi kewarganegaraannya maupun kepada warga yang rentan adminduk, termasuk anak-anak panti asuhan, anak jalanan, fakir miskin dan warga lansia di panti wredha.
Kondisi kebhinekaan dan toleransi inilah yang menarik IKI untuk bersilatuhrahmi dengan Gus Zaim pengasuh pondok pesantren kauman yang berdiri ditengah-tengah kawasan pecinan.
Perjalanan darat 120 km dari ibukota jawa tengah, semarang menuju lasem melewati kemacetan lalulintas akibat perbaikan jalan dan banjir di beberapa wilayah membuat perjalanan harus ditempuh dalam waktu hampir 7 jam. Tujuan kami pondok pesantren kauman yang terletak di desa karangturi, lasem.
Ditengah kepenatan yang memuncak sekitar pukul sepuluh malam, akhirnya sampailah di pondok pesantren kauman, lasem asuhan KH. Muhammad Zaim Ahmad Ma’shoem atau sering disapa Gus Zaim.
Suasana teduh pondok pesantren kauman dengan arsitektur bergaya tionghoa dan memang benar-benar menambah keabsahan berada di tengah tengah warga Tionghoa, dapat mengusir kepenatan perjalanan ditambah dengan sambutan keramahan dan senyum persahabatan Gus Zaim membuat rasa penat perjalanan menjadi hilang.
Jamuan keramahan sederhana ditemani kopi dan kacang di teras rumah bergaya arsitektur tionghoa menambah hangat rasa persaudaraan.
Pembicaraan terus mengalir bercerita tentang toleransi dan kebhinekaan. Gus Zaim, sangat memahami bagaimana sebagian warga Indonesia keturunan tionghoa mengalami diskriminasi dan tekanan pada masa orde baru.
Lebih lanjut Gus Zaim menceritakan bagaimana Isu pribumisasi membuat banyak warga etnik Tionghoa menghilangkan identitasnya. “Nama Lim Sioe Liong harus menggantinya dengan nama Sudono atau Salim, nama King Ho dengan nama Kristianto” jelas Gus Zaim.
Tetapi hal yang serupa tidak terjadi pada kelompok etnik lainnya. “Seperti nama Muhammad Zaim contohnya tidak harus mengganti nama menjadi Jaya Haditirto, nama Taufiq tidak harus diganti menjadi Mangkubumi” lanjutnya.
Tekanan terhadap orang China ini menjadi sangat jelas ketika melakukan pembandingan itu.
Tekanan-tekanan ini membuat warga etnik Tionghoa di Lasem akhirnya tidak terlalu ekspresif. Ketakutan-ketakutan itu memaksa mereka untuk sebisa mungkin menghilangkan identitas diri.
“Tulisan-tulisan China yang ada di pintu-pintu mereka tutup dengan menggunakan seng, dikempul bahkan ditutup dengan semen dan bahkan dihilangkan dengan menggunakan kapak,” kisah Gus Zaim.
Akhirnya, sebagian tulisan-tulisan itu hilang. Padahal, menurut Gus Zaim, tulisan itu sangat istimewa karena memiliki makna tentang kebijaksanaan sangat bagus.
Di Kota Lasem sendiri jumlah warga keturunan Tionghoa cukup banyak, sehingga kota itu mendapat julukan Cina Kecil.
Mayoritas bangunan di kota penghasil batik itu berdinding tinggi, berpintu tinggi dan tebal dengan huruf kanji menghiasi permukaanya.
Dengan lingkungan yang sedemikian rupa Gus Zaim berjuang memelihara toleransi dengan pendekatan budaya dan agama.
Hal ini dimaklumi karena Gus Zaim sendiri leluhurnya adalah seorang Kyai keturunan Arab yang menikah dengan perempuan keturunan Tionghoa.
Gus Zaim merupakan putra bungsu dari pasangan KH. Ahmad Syakir dengan Nyai Faisah
Pondok Pesantren Kauman didirikan oleh Gus Zaim sendiri tepatnya pada 21 November 2003. Dengan kondisi sosial budaya di lingkunganya inilah yang mengilhami Gus Zaim mengajarkan kepada santri santrinya tentang nilai nilai toleransi (tasamuh) dengan etnis lain dengan harapan menghasilkan generasi yang berakhlakul karimah.
Tekanan atas warga China pada masa Orde Baru menyisakan luka lama. Mereka bahkan harus menjadi penganut agama-agama resmi walau mereka punya cara tersendiri dalam beragama. Bahkan, pada tahun 1967 pernah dikeluarkan Inpres (Instruksi Preside) No.14 tahun 1967 yang isinya melarang mengadakan perayaan-perayaan, pesta agama dan adat istiadat China. Tekanan dari pemerintah ini membuat kota Lasem mengalami masa diskontiniutas dalam kebudayaan China di Lasem.
Berujungnya Orde Baru pada 1998, memberikan harapan baru bagi kelompok etnis China di Nusantara. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, keluar Kepres (Keputusan Presiden) no 6 tahun 2000 tentang pencabutan Inpres No. 14 Tahun 1967. Dengan tegas, Gus Dur menyatakan bahwa masyarakat China adalah bagian dari Bangsa Indonesia. Selain itu, Gus Dur juga memberikan kebebasan beragama dengan mengangkat Kong Hu Chu sebagai agama resmi di Negara Indonesia.
Akan tetapi, kebebasan itu tidak serta merta membebaskan orang China di Lasem dari ketakutan-ketakutan lamanya. Simbol-simbol China masih ditutupi seperti tulisan di depan pintu. Gus Zaim menjadi salah satu pelopor agar tulisan ini dibuka dengan menerapkan metode healing ala Gus Zaim untuk mengobati trauma masa lalu bagi warga keturunan tionghoa di lasem.. Gus Zaim langsung menunjukkan salah satu pintu di depan pesantrennya. Bagi dia, tulisan itu dipenuhi dengan makna yang mendalam. “Semoga panjang umur setinggi gunung dan semoga luas rezekinya sedalam samudera”. Bagi Gus Zaim, tidak ada salahnya kalau itu dipertahankan dan itu sama sekali tidak melawan Aqidah.
Kondisi kebhinekaan, suasana toleransi dan pemahaman Gus Zaim inilah yang membawa IKI bersilaturahmi untuk bersama-sama memberikan kesetaraan hak dasar kewarganegara dalam bentuk administrasi data kependudukan.
(Mahendra Kusumaputra)