Mencermati kehidupan kewarganegaraan kita dewasa ini, kita jadi teringat sosok Bung Hatta, yang pernah mengeluarkan “Haluan Politik 1 November 1945”. Haluan politik ini merupakan (semacam) GBHN (Garis Besar Haluan Negara) dalam bidang nation building yang pertama di negeri ini. Haluan Politik itu kemudian lebih dikenal dengan Manifesto Politik Bung Hatta. Dari sekian banyak manifesto politik yang pernah diproduk oleh pemimpin bangsa di awal kemerdekaan, agaknya Manifesto Politik Bung Hatta ini merupakan salah satu landasan dan pengarah yang kuat dalam urusan penataan kewarganegaraan.
Salah satu kutipan dari manifesto Politik tersebut ialah “… sejajar dengan usaha persahabatan kita dengan tetangga kita serta dengan seluruh dunia, kita tidak saja akan berikhtiar menjadi suatu anggota United Nations, akan tetapi di dalam negeri kita akan melaksanakan kedaulatan rakyat kita dengan aturan kewargaan yang akan lekas membuat semua golongan Indo-Asia dan Eropah menjadi orang Indonesia sejati, menjadi patriot dan demokrat Indonesia…”
Pada awal kemerdekaan, rupanya tokoh Proklamator ini telah memiliki kegelisahan terhadap masalah kewarganegaraan bagi warga keturunan, khususnya golongan Tionghoa. Karena itu dalam salah satu butir Manifesto Politik 1 November 1945 itu Bung Hatta mengemukakan sikap politik tentang kewarga (negara) an, seperti kutipan di atas.
Tapi Bung Hatta menyadari betul kendala yang dihadapi dalam urusan penuntasan status kewarganegaraan bagi warga keturunan. Penuntasan status dan pemenuhan hak kewarganegaraan itu dibayangkan akan memakan waktu yang lama. “Persoalan integrasi warga negara Indonesia keturunan etnis Cina sebagai bangsa Indonesia adalah masalah yang tidak begitu mudah dipecahkan dalam jangka pendek,” tutur Bung Hatta. Prediksi Bung Hatta benar adanya. Sampai saat ini, selang 75 tahun sejak pernyataan itu dilansir, persoalan tersebut belum benar-benar tuntas.
Ada dua dimensi persoalan yang dihadapi, yaitu persoalan norma, dan persoalan yang berkenaan dengan fakta sosial yang melekat di hati masyarakat.
Menurut Bung Hatta, “Persamaan status sudah diterima di otak, tetapi masih sukar masuk di hati rakyat banyak.”
Karena itu, harus dibedakan antara persoalan yang berkaitan dengan norma dan fakta. Secara norma tidaklah sulit, malahan mudah sekali. Dalam suatu negara hukum yang beradab, tidak ada perbedaan tentang status warga negaranya. Negara mempunyai peraturan tentang siapa warga negara itu, dan bagaimana seorang warga bangsa asing dapat menjadi warga negara Indonesia. Tapi dalam fakta sosialnya masih banyak dijumpai ketertutupan hati masyarakat yang disebut pribumi terhadap berlangsungnya proses integrasi bangsa bagi warga keturunan (lihat Nonpri di Mata Pribumi, ed. Junus Jahja, Yayasan Tunas Bangsa, 1991).
Di awal-awal kemerdekaan sampai era Orde Lama, kondisi itu terjadi, menurut Bung Hatta, oleh dua sebab. Pertama, faktor historis yang ditinggalkan penguasa Hindia Belanda. Politik kolonial selalu mempergunakan kaum bangsawan sebagai alat kekuasaan pemerintah, dan orang-orang Tionghoa sebagai alat ekonomi untuk menguasai produksi masyarakat. Posisi ini terus berkembang sehingga secara politik kemudian menimbulkan keterputusan relasi kolektif sosial dan politik antara warga pribumi dan warga keturunan. Penyebab kedua, lebih merupakan wilayah psikologi. Dua golongan rakyat, yang berabad-abad terpisah dalam keadaan, tujuan hidup dan tujuan politik, batinnya tidak dapat dipersatukan hanya dengan undang-undang saja. Perlu ada proses penyatuan batin selain melalui pendekatan formal dan legal.
Kini Faktor Penyebab Berbeda
Itu kondisi tempo dulu. Kini, setelah melewati beberapa tahap kesejarahan dan proses sosial yang intensif dan massif, lebih-lebih di era reformasi ini, dua faktor penyebab yang pernah diintrodusir Bung Hatta itu agaknya tidak berlaku lagi. Coba kita runut satu persatu poin penting yang menjadi prasyarat dalam proses pemenuhan hak-hak warga Negara. Dari sisi regulasi, Undang-undang tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (UU Nomor 12 tahun 2006) dinilai telah cukup memadai untuk menata urusan kewarganegaraan, disusul dengan lahirnya UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi kependudukan, serta banyak peraturan pelaksanaannya. Dari sisi partisipasi publik, kini telah menjamur institusi publik yang melakukan kontrol dan rekayasa sosial agar pemangku kepentingan dan pihak otoritas bekerja sesuai dengan pakem dan regulasi. Dari sisi sosial, telah terjalin sangat baik interaksi sosial antarkomunitas yang berbeda latar belakang, termasuk etnisitas. Banyak pelaku sejarah saat ini yang tidak terlibat langsung dengan politik kolonial yang mendiskriminasi dan membenturkan antara etnis Cina, misalnya, dengan warga pribumi, sehingga tidak terbangun sentimen antietnis tertentu.
Lantas, kalau demikian faktanya, kenapa masih sering dijumpai banyak warga Negara yang mengalami kesulitan ketika berurusan dengan lembaga yang berwenang, untuk mengurusi administrasi kewarganegaraan? Jawabnya jelas: publik masih berhadapan dengan sikap sebagian aparatus negara yang bermental bak penjajah. (IKI/SM)
_______________________
Penulis: Saifullah Ma’shum (Ketua II IKI)
Wisma 46, 10 Januari 2020