Pasca Lebaran 2025, Jakarta kembali bersiap menerima gelombang pendatang baru. Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) DKI Jakarta, Budi Awaluddin, menegaskan bahwa Ibu Kota tetap terbuka bagi siapa saja yang ingin merantau. Namun, ada sejumlah hal yang wajib diperhatikan pendatang sebelum memutuskan hijrah ke Jakarta.
Budi menjelaskan pada Kamis, 3 April lalu, pendatang dibedakan menjadi dua kategori. Pertama, mereka yang membawa Surat Keterangan Pindah (SKP) dari daerah asal. Mereka wajib melapor ke kelurahan dengan membawa SKP, surat penjamin, KTP, KIA asli, dan KK daerah asal. Setelah divalidasi dan mendapat dokumen baru di DKI, pendatang harus melapor ke RT setempat.
Kedua, mereka yang datang tanpa SKP atau hanya tinggal sementara. Pendatang jenis ini harus mendaftar secara online di sebagai Penduduk Non Permanen di web kemendagri. Selanjutnya, melapor ke kelurahan untuk dicatat di SIAK sebagai penduduk non-permanen. Disarankan juga melapor ke RT setempat. Batas tinggal maksimal untuk penduduk non-permanen adalah satu tahun.
Selain soal dokumen, Budi mengimbau agar pendatang sudah memiliki kepastian pekerjaan atau keterampilan yang bisa diandalkan, serta jaminan tempat tinggal. Hal ini dinilai penting agar pendatang dapat cepat beradaptasi dan ikut membangun Jakarta menuju kota global.
Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menegaskan tidak akan ada razia identitas atau operasi yustisia. Namun, pendatang wajib memiliki KTP agar bisa bekerja, mengikuti pelatihan, dan mengembangkan keterampilan di Ibu Kota.
Meski tetap terbuka, Budi memprediksi jumlah pendatang usai Lebaran tahun ini akan turun menjadi sekitar 10–15 ribu orang, dari 16.207 pada 2024 dan 25.918 pada 2023. Penurunan ini dipicu pemerataan pembangunan di daerah serta penataan dokumen kependudukan yang masif sejak 2023.
Urbanisasi, kata Budi, adalah fenomena alami kota besar. “Dari tahun ke tahun Jakarta mengalami dua kali pertambahan penduduk: pasca hari raya dan saat kenaikan kelas sekolah,” ujarnya.@esa




