Sumber Kompas.id
Kwee Sang Kun (73) dan Lim It Nio (60-an) telah menikah secara adat Tionghoa Benteng puluhan tahun lalu. Namun, mereka ”menikah ulang” demi mendapatkan akta perkawinan dan pengakuan dari negara.
Mereka telah dikaruniai 6 anak, 12 cucu, dan 1 cicit. ”Waktu itu belum ada surat (akta perkawinan). Kalau anak-anak, sudah menikah resmi (pencatatan sipil). Kami malah menyusul,” kata Kwee Sang Kun sambil tersenyum, Minggu (8/3/2020) siang.
Mereka menikah di Cetiya Veluvana Arama, Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang, Banten. Hari itu ada tujuh pasang pengantin yang menikah, bagian dari 66 pasang pengantin yang mengikuti pernikahan massal yang dilangsungkan bertahap sejak Agustus 2019.
Pernikahan massal itu diselenggarakan Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) bersama pengurus Cetiya Veluvana Arama dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Tangerang.
Di usia senjanya, Kwee Sang Kun yang sehari-hari mencari nafkah sebagai petani itu ingin membagi warisan kepada anak-anaknya. Namun, pembagian warisan itu mensyaratkan surat atau dokumen kependudukan, termasuk akta perkawinan orangtua. Hal ini yang mendorongnya mengikuti pernikahan massal.
Meski beberapa kali datang ke instansi terkait, belum tentu surat diterbitkan. Kini, pandangan itu berangsur hilang karena pengurusan dokumen kependudukan lebih mudah.
Andi Setiawan (40) yang baru saja menikah ulang bersama pasangannya, Sherly (28), mengatakan, dulu mengurus dokumen kependudukan, seperti kartu tanda penduduk atau akta perkawinan, bagi warga keturunan Tionghoa cukup susah. Meski beberapa kali datang ke instansi terkait, belum tentu surat diterbitkan. Kini, pandangan itu berangsur hilang karena pengurusan dokumen kependudukan lebih mudah
China Benteng
M Reza Zaini dalam tulisan ”Perjalanan Menjadi Cina Benteng: Studi Identitas Etnis di Desa Situgadung” di Jurnal Sosiologi Masyarakat (2014) mengatakan, Tionghoa Benteng, atau China Benteng, ialah bagian kecil dari Tionghoa peranakan yang menetap di Tangerang dan sekitarnya.
Sebagian dari mereka tergolong kelas ekonomi menengah ke bawah. Di era Orde Baru, mereka kesulitan mengurus dokumen negara. Warga keturunan Tionghoa di era itu harus memiliki surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Padahal, tak mudah mendapatkan SBKRI.
Meski syarat SBKRI telah dihapuskan bagi masyarakat keturunan Tionghoa, masih ada persepsi itu di kalangan mereka. Bahkan, ada oknum yang memanfaatkan ketidaktahuan itu untuk mencari keuntungan.
Peneliti senior IKI, Paschasius Hosti Prasetyadji, mengatakan, meski syarat SBKRI telah dihapuskan bagi masyarakat keturunan Tionghoa, masih ada persepsi itu di kalangan mereka. Bahkan, ada oknum yang memanfaatkan ketidaktahuan itu untuk mencari keuntungan.
”Dulu mungkin mereka juga tak terlalu paham tentang dokumen kependudukan sehingga, meski telah menikah secara adat, tidak mengurus untuk pernikahan secara agama dan catatan sipil,” kata Prasetyadji.
Menurut dia, IKI ingin memastikan hak-hak kewarganegaraan seseorang sebagaimana amanat UU Kewarganegaraan terjamin.